Kisah Istri Bersabar dan Suami Bersyukur yang Masuk Surga

Kisah Istri Bersabar dan Suami Bersyukur yang Masuk Surga

Dalam sela-sela pengajiannya, Kiai Afifuddin Muhajir menceritakan kisah pasutri yang masuk surga. Kiai Afif menuturkan, “Di zaman dahulu ada pasangan suami istri. Suami jelek sekali dan istrinya cantik sekali. Ketika obrolan menjelang tidur sang suami bilang sama istrinya, rupa-rupanya kita ini calon penghuni surga. Istrinya mengatakan masak bisa? Ya bisa, kata sang suami. Alasannya, laki-laki jelek seperti saya bisa mendapatkan istri secantik kamu. Hal itu merupakan anugerah dan nikmat dan terhadap nikmat itu aku bersyukur kepada Allah. Sebaliknya, perempuan secantik kamu bisa mendapatkan suami sejelek seperti saya dan kamu bersabar, itu merupakan musibah dan menghadapi musibah itu kamu sabar. Bukankah Allah SWT. sudah berjanji bahwa orang yang bersyukur dan sabar akan masuk surga?”. Tutup Kiai Afifuddin Muhajir, serentak kami yang sedang mengaji tertawa kecil mendengar cerita yang diutarakan beliau.

Baca Juga: KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy: Tiga Peristiwa Mengindikasikan Koneksi Ahlul Barzah dan Manusia di Dunia

Uniknya, pasangan suami istri itu masuk surga berkat kerja samanya melalui pernikahannya namun melalui pintu yang berbeda. Suami masuk surga lewat pintu syukur sementara istrinya melalui pintu sabar. Kisah yang tertera dalam kitab al-Mustathraf (426), karangan Syihabuddin Muhammad bin Ahmad al-Ibsyihi (w. 852). Syihabuddin  juga mengemukakan nama sang suami yaitu Imran bin Hatthan yang memiliki istri sangat cantik, paras wajahnya berseri-seri menawan. Sepasang kekasih itu terlihat kontras jika dilihat dari fisiknya tapi amat serasi dalam non-fisik.

Kisah yang serupa juga diwartakan oleh Syihabuddin. Konon, ada seorang lelaki yang berjumpa dengan perempuan cantik di tengah perjalanan menuju Makkah. Wajahnya rupawan tiada tara dan mampu menghipnotis setiap mata pandangan, termasuk lelaki saat itu. Maka, mata lelaki tersebut terus memandangnya lantara kekaguman akan kecantikannya. Tapi, secara tiba-tiba ada kakek-kakek pendek menghampiri seraya mengambil jubah di pangkuan perempuan cantik itu. Lalu, kedua orang itu berjalan beriringan.

Di lain waktu, lelaki yang sempat terpanah pesona perempuan cantik yang ditemui di jalan menuju Makkah secara kebetulan dipertemukan kembali. Lelaki itu tak ingin memendam penasaran karena kejanggalan-kejanggalan hal-ihwal perempuan yang di temui sebelumnya, maka tanpa membuang kesempatan langsung bertanya, “Siapakah gerangan lelaki tua yang berjalan denganmu itu?”, katanya.

Perempuan itu mengaku bahwa lelaki tua itu adalah suaminya. Mendengar jawaban tersebut, lelaki itu tak percaya, mustahil. Bagaimana mungkin perempuan secantik engkau mau dengan lelaki tua. Saking tidak percayanya ia melantunkan sair-sair ketidak-percayaan.

أيا عجبا للخود يجري وشاحها … تزف إلى شيخ بأقبح تمثال

دعاني إليه أنه ذو قرابة … يعزّ علينا من بني العم والخال»

Alangkah heran pipinya berlekuk-lekuk (cantik) # Dia menikah dengan seorang syekh bak patung paling jelek

Dia mengundang saya kepadanya karena dia seorang kerabat #  Dia sayang kepada kami di antara sepupu dan paman.

Baca juga: Tafsir Progresif Kiai Afifuddin Muhajir: Bukti Mencintai Negara

Sabar dan Syukur

Hikmah dari kisah tersebut adalah sifat syukur dan sabar antara kedua pasutri yang mengantarkan masuk surga. Di kalangan ulama, materi tentang sabar dan syukur masih ada perbedaan tatkala disandingkan; manakah yang lebih utama antara syukur dan sabar. Imam al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya Ulumiddin (4/135) mengemukakan beberapa pendapat ulama menyangkut keutamaan sifat sabar dari pada syukur atau sebaliknya. Setidaknya ada empat pendapat menyikapi persoalan tersebut.

«اعلم أن الناس اختلفوا في ذلك فقال قائلون ‌الصبر ‌أفضل ‌من ‌الشكر وقال آخرون الشكر أفضل وقال آخرون هما سيان وقال آخرون يختلف ذلك باختلاف الأحوال»

“Ketahuilah bahwa manusia berbeda tentang itu (sabar dan syukur), ada yang mengatakan sabar lebih utama ketimbang syukur, yang lain berpendapat syukur lebih utama dari pada sabar. Dan ulama ketiga mengatakan sama saja. Terakhir, antara syukur dan sabar berbeda sesuai situasi dan kondisinya”.

Dalam kitab yang lain, Mihajul Abidin, al-Ghazali juga menjelaskan mengapa ulama berbeda pendapat. Menurutnya, ulama yang mengatakan lebih utama syukur dibanding sabar karena berargumentasi dengan ayat Alquran sebagai berikut;

وَقَلِيلٞ مِّنۡ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ ١٣ ﵞ [سبأ: 13] 

 “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”, (QS. Saba [34]: 13).

Dalam surah yang lain, ketika Ibrahim memohon kepada Allah antaranya adalah orang yang bersyukur.

 شَاكِرٗا لِّأَنۡعُمِهِۚ ٱجۡتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ١٢١ [النحل: 121] 

“Ia senantiasa bersyukur akan nikmat-nikmat Allah. Dan Allah memilihnya dan memberi hidayah kepadanya ke jalan yang lurus”, (QS. Al-Nahl [16]: 121).

Kedua ayat itu dijadikan landasan bahwa syukur lebih utama dibandingkan sabar. Bahkan ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.

“Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang pertama yang akan dipanggil masuk surga adalah yang senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah, yaitu orang-orang yang senantiasa memuji Allah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit”.

Tidak mau kalah, ulama yang mendukung sabar lebih utama membantah argumentasi tersebut, yaitu keberadaan syukur tatkala seseorang saat mendapatkan nikmat sehingga dianggap biasa. Berbeda dengan orang sabar sebab sabar dalam kondisi seseorang menghadapi kondisi yang sulit. Dengan demikian pahala yang diperoleh lebih banyak dari pada pahala syukur. Dalam Alquran Allah berfirman.

إِنَّا وَجَدۡنَٰهُ صَابِرٗاۚ نِّعۡمَ ٱلۡعَبۡدُ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٞ  [ص: 44] 

“Sesungguhnya kami dapati ia ( Nabi Ayyub) seorang yang sabar. Ia adalah sebaik-baiknya hamba (yang bersabar)”, (QS. Shaad [38]: 44).

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ ١٠  [الزمر: 10] 

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”, (QS. Al-Zumar [39]: 10).

Terlepas apakah sabar yang lebih baik atau syukur yang lebih utama, nyatanya ulama sepakat bahwa keduanya adalah sifat yang terpuji sehingga seseorang idealnya memiliki kedua sifat tersebut. Jika tidak bisa maka salah satunya tidak mengapa. Dan apakah sabar atau bersyukur tergantung pada kemampuan diri sendiri. Falyata’ammul. (M. Soleh Shofier)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version