Kiai Afifuddin Muhajir: Ketika Dermawan Sebagai Syarat Kewalian

Kiai Afifuddin Muhajir: Ketika Dermawan Sebagai Syarat Kewalian

Oleh: Moh Soleh Shofier
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Kata dermawan dalam KBBI memiliki dua pengertian yaitu kebaikan hati terhadap sesama dan kemurahan hati (suka memberi). Sementara dalam kitab-kitab klasik, dermawan sering kali dipadankan dengan kata al-Jawd dan terkadang dijadikan terjemahan dari kata al-Sakha’. Abu Aly al-Daqaq, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qusyairi, tidak membedakan antara kata al-Sakha’ dan al-Jawd.

Hakikat Dermawan

Baca juga: Ijtihad adalah Keniscayaan Sejarah

Imam Qusyairi dalam Rislah al-Qusyairiyah menyisakan satu bab utuh untuk membahas tentang dermawan. Secara kongkret, Imam al-Qusyairi membandingkan tiga istilah yang memiliki pengertian hampir sama. Pertama, al-Sakha’ yaitu memberikan sebagian (harta) kepemilikannya kepada orang lain dan sebagian yang lain disimpan untuk dirinya sendiri. Kedua, al-Jawd adalah harta yang diberikan kepada orang lain lebih banyak ketimbang harta yang disimpan untuk dirinya sendiri. Ketiga, al-Itsar yaitu memprioritaskan orang lain kendatipun dirinya sama-sama sulit. Dari sanalah Imam al-Qusyairi memastikan bahwa hakikat dermawan adalah orang yang tidak merasa berat memberikan sesuatu.

Baca Juga: Menyikapi LGBT

Senada dengan di atas, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa dermawan adalah memberikan harta tanpa kompensasi yang akan kembali pada pemberi. Di bab lain Imam al-Ghazali juga menandaskan tentang dermawan yaitu sikap proporsional antara boros dan kikir atau proporsional antara suka memberi tanpa batas dan menahan untuk dirinya sendiri tanpa batas. Sehingga dermawan adalah memberikan harta sesuai kadarnya. Intinya, dermawan merupakan kesalehan seseorang terhadap kepekaan sosialnya (memberi) secara proporsional.

Adapun cara memperoleh sifat dermawan sehingga menjadi akhlak yang melekat pada seseorang, menurut al-Ghazali, yaitu senantiasa berusaha melakukan sifat kedermawanan dengan memberikan hartanya (fisik dan non fisik: pemikiran) sehingga tindakan itu terpatri pada diri seorang dan menjadi akhlak yang menghiasinya. Muaranya, orang itu akan merasa ringan untuk melakukan kedermawanan.

Syarat dermawan dan Masyruth waliyullah dalam Kajian Tasawuf

beririsan dengan sifat dermawan, Ibnu al-Jauziyah dalam kitabnya Shaid al-Khathir (370) mengemukakan beberapa sifat yang harus dimiliki waliyullah yaitu harus sempurna, baik secara lahir maupun batin semisal dermawan dan murah hati, berakal, tidak dengki, dan hasud serta aib-aib batin lainnya. Berkenaan dengan itu, Ja’far bin Muhammad menukil statemennya Ahmad bin Abi al-Warad menandaskan;

‌ولي ‌الله اذا زاد جاهه زاد تواضعه واذا زاد ماله زاد سخاؤه واذا زاد عمره زاد اجتهاده»

“Waliyaullah (kekasih Allah) tatkala pangkatnya semakin tinggi maka semakin rendah hati, dan semakin banyak harta maka semakin dermawan dan semakin umurnya panjang maka semakin serius dalam bersungguh-sungguh”,(Shifa hal-Shafwah: 508).

Berlandasan kepada pendapat yang mengatakan dermawan merupak syarat kewalian, Kiai Afifuddin Muhajir melontarkan pernyataan, “Jika dikatakan kedermawanan (itu) menjadi syarat kewalian, maka artinya: (1) dengan tidak adanya kedermawanan dipastikan tidak adanya kewalian dan (2) dengan adanya kedermawanan tidak dapat dipastikan ada/tidak adanya kewalian”, ungkapnya.

Ungkapan Wakil Rais Aam PBNU tersebut sangat menarik, setidaknya penurut penilaian subjektif penulis. Sebab, beliau mengkaji sisi tasawuf dengan teori ushul fiqh-nya. sehingga pernyataan itu menguatkan sisi Kiai Afifuddin Muhajir yang identik dengan ushul fiqh yang mempengaruhi intelektualitas beliau dalam memantau setiap persoalan, tak terkecuali tasawuf.

Dalam literatur ushul fiqh, hal ini – dermawan adalah syarat menjadi waliyullah – termasuk dalam kajian syarat dan masyrut.  Syekh Zakariya al-Anshari mengatakan bahwa syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya merupakan keniscayaan terhadap ketiadaannya masyrut dan keberadaan syarat tersebut tidak meniscayakan adanya masyrut ataupun ketiadaannya.

«والشرط ‌ما ‌يلزم ‌من ‌عدمه العدم) للمشروط (ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم) له»

“Syarath adalah sesuatu yang meniscayakan ketiadaannya masyruth (status wali) sebab tidak adanya syarath (sifat dermawan). Dan ketika syarat ada (sifat dermawan) belum tentu masyrut dipastikan, baik keberadaannya maupun ketiadaannya”.

Jika diaplikasikan dalam persoalan sifat dermawan dan wali, maka dermawan statusnya adalah syarat dan wali berstatus masyrut. Dengan demikian, sebagaimana pandangan Kiai Afifuddin Muhajir, dengan tidak adanya sifat kedermawanan pada seseorang maka bisa dipastikan ia bukanlah wali. Tapi tidak sebaliknya, kendatipun seseorang telah menyandang sifat dermawan tetapi tetap tidak bisa dipastikan apakah ia kekasih Allah atau bukan.

Walhasil, seseorang yang mengklaim dirinya adalah waliyullah atau sekurang-kurang mengaku orang baik maka tidak boleh tidak harus menanamkan sifat dermawan. Akan tetapi, orang yang memiliki sifat dermawan belum tentu ia adalah kekasih Allah. Falyatta’ammul

Gambar: Mubadalah.id

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version