Meninjau Poligami Sebagai Fakta Sejarah Nabi

Meninjau Poligami Sebagai Fakta Sejarah Nabi

Oleh: Syukran Hafid
(Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah)

Tidak usah jauh-jauh untuk melakukan survei, di daerah kita masing-masing saja sudah sedikit orang-orang yang mengaplikasikan poligami sebagai sunah Rasulullah Saw. Betapa hal ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa mindset orang Sudah agak mendingan tentang poligami, dibandingkan masyarakat Jahiliyyah yang hidup di zaman pra islam.

Dimana zaman itu, praktik poligami merupakan adat kebiasaan yang berlaku umum, sehingga tidak normal seseorang yang tidak melakukan poligami. Mungkin orang tersebut akan dibully dengan perkataan “tidak laki ini orang” atau dengan perkataan “jangan-jangan, orang ini banci” dan perkataan-perkataan bullying lainnya yang diperkirakan muncul di zaman itu.

Namun tunggu dulu, wacana tentang poligami dari dulu sampai sekarang tetap aja menuaikan beberapa pendapat yang kontroversial, baik di tingkat ulama, ustadz, dan orang awam. Argumentasi di antara mereka ada yang kuat (karena sudah menggunakan dalil yang tidak bisa dibantah), ada yang logis, ada juga yang cuma beralasan faktor naluriah aja (kalau nggak mau dikatakan karena hasrat seksual). Mau buktinya? Mari kita lihat:        

Di antara kita para laki-laki seandainya ditanya nih, “Mungkinkah kita melakukan poligami?, disamping kebutuhan akan material ataupun finansial sudah tercukupi, artinya mengenai standar ekonominya sudah mumpuni untuk menerapkan poligami sehingga bisa untuk berbuat adil di antara para istri”. Tentu jawabanya pasti akan demikian, “Kenapa tidak?”. jawaban ini benar atau tidak?, iya benarlah masak jawabannya tidak.

Apalagi si istri sendiri yang meminta sang suami untuk melakukan poligami seperti ceritanya Ida Nirwana Marzuki, perempuan asal Negeri Jiran. Ada juga cerita novel yang judulnya Ayat-ayat Cinta, dimana istri fahri, Aisyah, merelakannya poligami (tidak memintanya), atau cerita-cerita novel lainnya (jangan-jangan ceritanya cuma ada dalam novel, gak ada dalam dunia nyata).

Sebenarnya, hukum boleh pensyariatan poligami tidak akan menuaikan sikap kontroversial, jika poligami dipraktikkan dengan betul dan relevan dengan visi dan misi agama islam.`Visi agama tersebut adalah membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah yang mana untuk merepresentasikannya bisa dengan misi meneruskan keturunan, pembagian tugas oleh pasutri, dan lain sebagainya.

Namun, realitanya praktek poligami yang ada tidaklah sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam islam. Kebanyakan di antara mereka yang melakukan poligami malah berlomba dalam menentukan istri siapa yang paling cantik jelita, mengoleksi istri ayu, dan perilaku-perilaku iseng kurang bermartabat lainnya.

Padahal seandainya mengaca pada aspek sejarah poligami yang dilakukan oleh Rasul, kita tentu akan mengetahui perilaku mulia yang dilakukan-Nya, bukan sembarangan melakukan poligami.

Poligami Ditinjau Dari Aspek Historis Rasulullah

Mengutip Siti Fauziyah, dalam jurnal yang berjudul Poligami Nabi Muhammad Saw Dalam Perspektif Sejarah, dia menyebutkan bahwa praktek poligami yang dilakukan oleh Rasul bukanlah untuk senang-senang, melainkan untuk tujuan-tujuan mulia. Semisal mengentaskan para janda serta melindungi anak-anaknya yang sudah menjadi yatim piatu, mempererat tali silaturrahi persahabatan, demi dakwah dan perjuangan, dan lain sebagainya.

Seandainya rasul melakukan poligami karena dorongan syahwatnya, tentu beliau akan memadu Khadijah, dimana saat menikahinya beliau masih muda belia serta masih segar bugar untuk menyantuni birahinya. Namun nyatanya, beliau tidak melakukannya serta lebih memilih untuk monogami dengan Khadijah sekitar 28 tahun lamanya sampai beliau wafat.

Saudah binti Zum’ah dinikahi oleh Rasul bukan karena kekayaan dan kecantikan, karena memang dia tidak tergolong cantik dan kaya. Tetapi yang dilihat Rasulullah adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, kebaikan dan keimanannya, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasulnya.

Aisyah binti Abu Bakar dinikahi oleh beliau karena setelah 2 tahun wafatnya Khadijah, wahyu turun dengan perintah untuk menikahi-Nya. Selain hal tersebut, beliau menikahi Aisyah juga karena faktor mempererat silaturrahmi persahabatan dengan Abu Bakar. Hanya Aisyah yang masih tergolong perawan di antara istri-istri beliau yang lainnya.

Pernikahan Rasul dengan Hafsah binti Umar bin Khattab merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang menjadi janda sebab ditinggal mati suaminya, Khunaiz bin Huzafah al-Sahami yang gugur dalam perang badar. Perempuan ini merupakan orang yang berjasa besar pada kaum muslimin lantaran ia adalah sosok istri rasul yang pertama kali menyimpan al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi al-Qur’an yang agung.

Zainab binti Khuzaimah dinikahi oleh Rasul karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban hidup-Nya. Suami pertamanya adalah Tufail bin Harits bin Abdil Muthalib. Karena Zainab mandul, Tufail menceraikannya ketika hijrah ke Madinah. Untuk memuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Tufail) menikahi Zainab. Ketika Ubaidah gugur sebagai syuhada’ di perang Badar, Rasulullah menggantikan posisinya sebagai seorang suami.

Istri Rasul yang lainnya adalah Ummu Salamah, julukan dari nama asli Hindun bin Zuhail. Sama juga dengan istri-istri Rasul yang lain, Ummu Salamah adalah seorang mukminah yang menjadi janda lantaran suaminya, Abdullah bin Abdul Asad jatuh sakit akibat sering kali mengikuti peperangan bersama Rasul sebelum akhirnya meninggal dunia. Untuk menenangkan hatinya, Rasullah kemudian mempersuntingnya untuk mendampingi dirinya sebagai istri.

Sementara istri-istri Rasul sisanya juga tidak lebih mempunyai alasan yang sama seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu untuk memuliakan dan mengangkat martabat seorang wanita.  Jadi, Rasullah adalah seorang feminis pertama yang tampil berani membela kehormatan perempuan. Dengan poligami, Rasul menjadikan sosok istri-istrinya sebagai perempuan yang sholehah, cerdas, dan mandiri. Dengan pendidikan yang dilakukan oleh Rasul, istri-istrinya kemudian menjadi seorang penghafal al-Qur’an, perawi hadis, mufti, dan lain sebagainya.

Poligami Yang Betul

Poligami yes jika penerapannya relevan dengan visi dan misi agama islam, yaitu membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah, bukan memenuhi hasrat seksual libido. Gamblangnya, yaitu diterapkan untuk tujuan mengentaskan martabat para janda dan sang suami mampu bersikap adil dengan status ekonomi yang mumpuni. Para feminis juga sepakat tentang hal ini.

Poligami no jika penerapannya tidak relevan dengan visi dan misi agama islam, yaitu diterapkan hanya karena faktor dorongan hasrat seksual. Apalagi sang suami tidak mampu bersikap adil dan status finansialnya tidaklah mumpuni, demikian ini lebih tidak boleh untuk dilakukan alias lebih haram.

Poligami yes, karena dipandang lebih banyak manfaatnya sebab mengentaskan martabat janda dan menyekolahkan anak-anaknya yang butuh pendidikan dibandingkan monogami yang tidak bisa mengentaskan martabat janda dan menemaninya yang kesepian merawat anak-anaknya. Tapi jika seharusnya poligami diterapkan demikian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasul, adakah yang mau menerapkan poligami?. Wallahua’lam.   

Image by Freepik

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version