Kedermawanan Sang Miliyarder

Kedermawanan Sang Miliyarder

Oleh: Kiai Zainul Muin Husni
(Dosen Mahad Aly Situbondo)

Jika anda ditakdirkan berziarah ke Tanah Suci Makkah dan Madinah, anda pasti mendapatkan banyak sekali kantor-kantor mewah besar dan kecil dengan nama Al-Rajhi. Kantor-kantor tersebut bekerja di bidang bisnis keuangan mulai dari ‘money exchange’ sampai bank berskala internasional. Di dalam negeri Arab Saudi sendiri cabangnya ribuan tersebar di berbagai kota besar dan kecil sampai setingkat kecamatan dengan karyawan tak kurang dari 8.000 orang.

Syaikh Sulaiman ibn Abdul Aziz al-Rajhi, demikian nama pemilik lembaga keuangan itu, adalah pria terkaya di Kerajaan Arab Saudi dengan aset tak kurang dari 7,4 dollar AS (Majalah Forest). Dia seorang pekerja keras yang memulai usahanya dari nol putul. Berikut penuturannya pada Harian Okadh, 2015:

“Semasa kecil aku dan keluargaku hidup di bawah garis kemiskinan sampai-sampai untuk membayar ongkos piknik yang diadakan oleh sekolah kami sebesar 1 riyal saja aku tidak punya,” demikian Syaikh Sulaiman al-Rajhi menuturkan penderitaan di awal hidupnya.

Kemudian lanjutnya, “Pasti saja aku menangis pada kedua orang tuaku sejadi-jadinya. Tetapi apa boleh buat, 1 sen pun orang tuaku tak punya. Kemudian, sehari sebelum hari yang ditentukan untuk piknik, kebetulan aku berhasil menjawab dengan benar pertanyaan yang dilontarkan oleh guru kami yang kebetulan berkebangsaan Palestina di akhir pelajaran. Tak kusangka, bersamaan dengan applause dan tepukan tangan kawan-kawan sekelasku, tiba-tiba pak guru memberiku hadiah uang sebesar 1 riyal. Maka, tanpa berpikir panjang lagi aku langsung mendaftar untuk ikut piknik esok harinya dengan membayar 1 riyal. Yah, uang apa lagi kalau bukan pemberian dari pak guru itu. Tangis pilu pun berbalik menjadi senyuman bahagia yang tak bisa kulupakan hingga saat ini,” kenangnya.

Singkat cerita, jenjang demi jenjang pendidikan ditempuh Sulaiman dengan langkah berat hingga akhirnya selesai juga dan mulailah dia bekerja.

Sebagai pekerja keras, dia tidak pilih-pilih pekerjaan. Mulai dari bekerja sebagai kuli angkut, kemudian buruh tani di ladang kurma sampai bisnis kecil-kecilan dijalaninya dengan tekun dan penuh kesabaran hingga akhirnya, berkat anugerah Allah, ia terbilang sukses dan kaya.

Di sinilah kemudian Sulaiman teringat pada pak guru asal Palestina itu. Ia melanjutkan penuturannya, “Muncul pertanyaan di benakku, apakah pak guru itu memberiku uang 1 riyal sebagai imbalan atas keberhasilanku menjawab dengan benar atau sekedar sedekah saja, aku tak menemukan jawaban pasti. Tetapi, hal yang pasti bahwa uang 1 riyal itu tanpa kusadari telah menyelesaikan persoalanku dan membuat keinginanku terpenuhi. Dari sini aku lalu terdorong untuk bertandang ke sekolah itu untuk mencari tahu tentang pak guru tersebut.”

Setelah melacak catatan di sekolah tentang pak guru itu, akhirnya Sulaiman mendapatkan alamatnya. Ia pun segera meluncur ke alamat itu untuk menemuinya. Ternyata kebetulan dia sedang dalam kesulitan ekonomi dan sedang bersiap-siap untuk kembali ke Palestina. Maka, setelah berkenalan dan basa-basi seperlunya, Sulaiman berkata:

“Pak guru, bertahun-tahun lamanya aku menanggung hutang yang sangat besar pada Bapak.”
“Ahh tidak kok, aku tidak punya piutang pada siapa-siapa,” timpalnya.
“Apa Bapak tidak ingat pada seorang murid yang pernah Bapak beri uang 1 riyal sebagai imbalan atas jawabannya yang benar atas pertanyaan yang Bapak lontarkan waktu itu?”

Sang guru berpikir sejenak, lalu,
“O iya iya, ingat, itu Nanda ya? Terus bagaimana? Maksudnya Nanda menemuiku di sini untuk membayar hutang 1 riyal itu, begitu?” katanya sambil tertawa.
“Benar, Bapak.”

Sulaiman kemudian mengajak pak guru untuk ikut dengannya sekedar untuk jalan-jalan. Pak guru tidak keberatan dan keduanya pun pergi. Kemudian di suatu tempat, di depan sebuah villa mungil yang indah, mobil berhenti. Keduanya turun, lalu masuk ke villa itu, “Pak guru yang terhormat, rumah ini adalah bayaran hutangku pada Bapak, plus mobil yang diparkir di garasi itu dan insentif bulanan yang akan Bapak terima sepanjang hayat,” kata Sulaiman sembari menyerahkan kunci-kunci dan dokumen legalitasnya.

Karuan saja pak guru terperanjat,
“Ya Allah, sebanyak inikah?”
“Sungguh, Bapak, kebahagiaanku kala itu jauh lebih besar daripada kebahagiaan Bapak saat ini dengan villa dan mobil ini,” jawab Sulaiman.

Berangkat dari hadiah 1 riyal itu, Syaikh Sulaiman al-Rajhi memetik satu hikmah yang kemudian dijadikannya sebagai filsafat hidupnya, yaitu:

«أَدخِل فرحةً، وفرِّج كُربةً، وانتظر الجزاء من الكريم»

“Bahagiakanlah orang lain, bantu meringankan kesulitannya, lalu tunggu balasannya dari Sang Mahapemurah.”

Tak heran, di akhir hidupnya dia membagi tiga aset kekayaannya: dua pertiga untuk amal sosial dan sepertiga untuk anak-anaknya, sedang dia sendiri kembali ke nol. Dia sendiri memang bilang, “Aku memulai dari nol besar dan sekarang kembali lagi ke nol besar.”

Lahan perkebunan kurma miliknya yang terletak di Propinsi Qashim dan yang, konon, terluas di dunia dengan kapasitas 200 ribu pohon, semuanya diwaqafkannya untuk amal kebajikan, khususnya untuk buka puasa para jamaah di dua Masjid Haram Makkah dan Madinah. MasyaAllah.

Bulan Juni 2017 Syaikh Sulaiman al-Rajhi berpulang ke rahmatullah dalam usia 97 tahun

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version