Mekanisme Penentuan Nasab Menurut Fikih

Mekanisme Penentuan Nasab Menurut Fikih

Oleh: Farina Faradina
(Mahasantri Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah)

Persoalan nasab saat ini cukup viral menjadi perbincangan di media sosial. Khususnya adalah perkara nasab Habaib. Di Indonesia, kontroversi soal nasab para Habaib berujung kepada ajang saling memojokkan, menghina bahkan mencaci satu sama lain. Hal ini berawal dari penelitian ilmiah yang dilakukan oleh KH. Imamuddin Utsman al-Banteni (Kiai Imad) tentang nasab Habaib di Indonesia. Beliau memiliki hipotesa bahwa habib-habib di Indonesia banyak yang belum terbukti secara ilmiah memiliki jalur nasab sampai ke Rasulullah.

Jika dilihat dari segi definisi, Wahbah al-Zuhaili menyebutkan bahwa nasab adalah suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian yang lain. Dengan demikian, orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah.

Dari definisi di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa nasab adalah hubungan darah seseorang dengan yang lainnya, baik jauh maupun dekat. Namun, pada umumnya dalam literatur fikih, nasab hanya merujuk pada hubungan keluarga yang sangat dekat, yaitu hubungan seorang anak dan orang tua, terutama orang tua laki-laki (ayah).

Dari pemaparan di atas juga dapat diketahui, nasab merupakan perkara yang penting sehingga untuk menetapkannya pun tidak bisa sembarangan. Dalam hukum Islam terdapat beberapa cara untuk menetapkan nasab seseorang.

Pertama, melalui pernikahan yang sah (al-Zawaj al-Shohih). Ulama sepakat akad pernikahan yang sah merupakan sebab dalam penetapan nasab seorang anak. Sehingga anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, maka status anak tersebut bisa dinisbatkan kepada bapaknya tanpa ada tuntutan dari ibu agar suami mengakui anak yang dilahirkannya.

Kedua, melalui iqrar (pengakuan tentang nasab). Iqrar tentang nasab disini terbagi menjadi dua; pertama, pernyataan yang dilakukan oleh ayah terhadap anak atau sebaliknya. Kedua, pengakuan yang dilakukan oleh pihak lain tentang status anak atau ayah.

Ketiga, melalui bukti/saksi (al-Bayyinah). Sebagaimana al-Zawaj al-Shohih dan iqrar, adanya bayyinah juga dapat menetapkan nasab. Bahkan ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa persaksian kedudukannya lebih tinggi karena dapat membatalkan penasaban dengan iqrar. Hal ini dikarenakan penasaban yang ditetapkan dengan iqrar sifatnya tidak mengikat, sehingga bisa saja sewaktu-waktu dibatalkan dengan adanya saksi atau bukti lain.

Keempat, melalui al-Qiyafah. Metode al-Qiyafah ini dalam konteks modern mirip dengan DNA. Imam ar-Ramli menerangkan bahwa qiyafah dalam konteks etimologi adalah suatu metode penelitian terhadap jejak seseorang berdasarkan kemiripan/kesamaan. Seseorang yang memiliki keahlian melakukan metode qiyafah disebut qaif. Metode qiyafah ini dilakukan qaif dengan melihat faktor-faktor fisik dan psikis yang terdapat pada anak atau seorang ayah, sehingga dengan hubungan faktor-faktor tersebut dapat dipastikan hubungan antara keduanya.

Meskipun ada ketentuan penetapan nasab seperti yang sudah dipaparkan di atas, Habaib/keturunan Rasulullah memiliki khususiyah (ketentuan khusus) soal nasab, yakni nasab perempuan sama sepeti lak-laki, sehingga dapat dipastikan seluruh keturunan Sayyidah Fatimah, nasabnya tetap tersambung kepada Rasulullah meskipun melalui jalur perempuan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan ketentuan nasab secara umum yang dinisbatkan kepada Ayah. Diantara dalil yang menjadi landasan khsuusiyah ini adalah Firman Allah di dalam surah Ali Imran ayat 61 dan sabda nabi;

فاطمة ‌بضعة ‌مني، فمن أغضبها أغضبني

“Fatimah adalah bagian dariku, maka barang siapa yang membencinya, berarti ia juga membenciku”.

Di hadis yang lain, nabi juga pernah menyebut putra Sayyidah Fatimah, yakni Hasan dan Husein;

إِنَّ ‌ابْنِي ‌هَذَا ‌سَيِّدٌ

“Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin)”

Berdasarkan dua hadis di atas, diketahui bahwa khususiyah nasab nabi tertera di dalam nash baik Alquran maupun Hadis. Sehingga nasab dari Sayyidah Fatimah tetap tersambung sampai ke Rasulullah dan merupakan satu-satunya perempuan yang menjadi jalur nasab Rasulullah. Wallahu a’lam

Rujukan:

  • Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
  • Nihayah al-Muhtaj
  • Shohih Bukhori

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version