Tali Tambang

Tali Tambang

Oleh: Ali Ahmad Syaifuddin
(Santri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

“Saya sakit hati ketika Ormas kita malah menerima konsesi tambang dari pemerintah.” Kata Wahhab membuka percakapan.

Mu’in hanya berseru ‘hemm’. Ia mengundang Wahhab untuk melanjutkan ucapannya.

“Ya, sebagai orang yang dekat dengan hutan, saya sakit hati karena akan ada pengrusakan lingkungan, apalagi pelakunya adalah Ormas kita sendiri. Tambang itu jelas akan merusak lingkungan.”

Mu’in tidak buru-buru merespon. Dia hanya menaikkan kopyahnya yang menutupi dahi. Sekarang seluruh dahinya terbuka, rambut bagian depannya sedikit keluar dari dalam kopyahnya. Kalau sudah begini, tandanya dia sedang berpikir.

Berita tentang penerimaan konsesi tambang memang menjadi berita yang sering diperbincangkan di pondok. Beberapa santri yang cekatan menjadikan berita hangat ini sebagai topik diskusi di Forum Diskusi Santri, wadah yang memuat santri yang doyan diskusi. Pekan lalu diskusi sudah dilakukan. Tapi, diskusi itu tidak menghasilkan rumusan yang berarti. Ragam pendapat dan reaksi tidak dapat ditarik benang kesimpulan.

Meski begitu, kata Ustad Dulgoppar diskusi ini membuka berbagai sudut pandang, sehingga akhirnya persoalan akan dipandang dengan lebih objektif.

Wahhab termasuk anggota yang aktif di forum itu. Sebenarnya ide diskusi bertema tambang adalah idenya, kemudian beberapa teman mendukungnya. Ia memandang persoalan itu perlu dibahas, atau lebih tepatnya semua santri harus menolak putusan penerimaan konsesi tambang itu. Wahhab beralasan karena tingkat mudaratnya lebih tinggi daripada tingkat maslahatnya.

Namun, ia tidak habis pikir ketika ada beberapa santri yang justru kontra dengan pendapatnya.

“Bukannya sudah dijelaskan, kalau kita itu membutuhkan sumber dana yang besar untuk membiayai berbagai fasilitas-fasilitas pendidikan keagamaan. Itu maslahat, hifdzu ad-din.

“Pengrusakan alam itu kan masih sifatnya prasangka, kemungkinan. Dengan pengelolaan yang baik kerusakan alam bisa diminimalisir, sementara kebutuhan akan fasilitas pendidikan dan aspek lain yang menunjang kehidupan organisasi sangat dibutuhkan. Tambang menjadi sumber pendapat yang menjanjikan. Dengan demikian, perhatian kita seharusnya tertuju kepada maslahat yang pasti akan diraih, bukan kepada mafsadat yang masih prasangka.”

“Kami itu tidak bertujuan merusak alam, tapi justru memanfaatkan alam yang sudah ditundukkan Allah. Bedakan antara merusak alam dengan memanfaatkannya. Merusak alam itu yang haram, sedangkan memanfaatkannya jelas halal. Allah menyediakan material-material di perut bumi untuk dimanfaatkan. Cara memanfaatkannya adalah dengan ditambang dulu. Apakah kalian pikir besi, emas atau barang tambang lain yang kalian pakai itu muncul begitu saja, tanpa ditambang, begitu?”

“Kenapa putusan Ormas kita kalian permasalahkan? Bukannya tambang itu halal dan kita juga sangat membutuhkan sumber biaya yang menjanjikan?”

Mendengar pendapat-pendapat dari lawan debatnya ini, Wahhab menggumam di dalam hati.

“Uang tidak bisa kalian makan ketika nanti alam sudah nyata rusak dan pohon-pohon tumbang semua.”

Diskusi pada pekan lalu begitu panas. Dua kelompok yang saling bertentangan memiliki argumen yang sama-sama kuat.

Mu’in sendiri tidak tertarik mengikuti diskusi-diskusi yang semacam itu. Ia lebih senang belajar sendiri. Kalaupun harus terpaksa ikut, karena di beberapa kondisi diskusi forum itu diwajibkan oleh pengurus pondok, Mu’in hanya diam saja, menjadi pendengar yang baik.

Tapi, bukan berarti karena Mu’in ini bodoh. Ia kerap kali memiliki pendapat-pendapat yang unik dan nyeleneh, di luar ekspektasi pendengar. Karena itulah, Wahhab sepulang dari pengajian bersama pengasuh, meminta pendapatnya.

“Menurutku,” kata Mu’in setelah lama diam, “Ormas kita itu sama dengan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Beliau adalah ulama yang kaya raya. Suatu ketika Imam as-Syafi’i datang menemuinya di Irak. Melihat Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sedang menata uang dan emas di ruang tamunya, Imam as-Syafi’i sempat menudingnya sebagai ulama yang materialistik. Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani kemudian berkata bahwa kalau Imam as-Syafi’i menyoal hartanya, ia akan memberikan harta itu kepada para orang fasik agar dibuat main judi, maksiat, selingkuh dan lain-lain. Imam as-Syafi’i kemudian berkata kalau orang alim boleh kaya raya atau bahkan harus kaya raya.

“Nah, dikelola Ormas kita atau bukan, pertambangan akan tetap beroperasi. Jadi, Ormas kita itu menerima tambang biar tambang tidak jatuh kepada orang-orang fasik yang tidak tahu aturan, yang mengeksploitasi alam secara membabi buta. Ormas kita tentu tahu batas, orang yang paham agama tentu akan peduli lingkungan juga.”

Wahhab mengangguk-angguk, “Masuk akal. Semoga saja begitu, bukan malah termasuk menghilangkan kemungkaran dengan kemungkaran.”

“Eh, tapi kamu tahu, kenapa Ormas kita begitu cekatan menerima konsesi tambang ini ketimbang Ormas lain?”

“Hemm, tidak. Kenapa?”

“Karena hanya Ormas kita yang punya Tambang di logonya. Ormas lain tidak ada.” Jawab Mu’in disambut tawa Wahhab.

One thought on “Tali Tambang”

  1. Bika ittakalna hammada June 20, 2024 at 12:06 pm

    اللهم صل على سيدنا محمد بعدد من صلى عليه وصل على سيدنا محمد بعدد من لم يصل عليه وصل على سيدنا محمد كما تحب أن يصلى عليه وصل على سيدنا محمد كما أمرت أن يصلى عليه وعلى آله وصحبه وسلم

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version