Flexing: antara Sombong dan Tahadduṡ bin Ni’mah

Flexing: antara Sombong dan Tahadduṡ bin Ni’mah

Oleh: Libasul Jannah

(Mahasantri Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah)

Beberapa waktu lalu, pemerintah China memblokir influencer media sosial yang suka flexing atau pamer harta. Hal ini merupakan bagian dari program “Clear and Bright” yang bertujuan menghapus konten yang dianggap tidak diinginkan dari media sosial. Kebijakan pembatasan pamer harta ini karena materialisme dinilai telah menyebar dan membawa pengaruh buruk bagi remaja. Lantas, bagaimana pandangan Islam terkait perilaku flexing?

Merujuk pada Urban Dictionary, flexing adalah perilaku membanggakan diri atau pamer tentang hal yang berkaitan dengan uang atau barang mahal. Selain itu, ada juga yang mendefinisikannya dengan perilaku menunjukkan prestasi, kebahagiaan, gaya hidup mewah secara berlebihan serta segala sesuatu yang mengindikasikan keberhasilan seseorang dengan tujuan mendapatkan perhatian atau pengakuan. Dari pengertian ini, flexing setidaknya dapat menjerumuskan seseorang pada dua sifat tercela, yaitu sombong dan ujub.

Sombong merupakan sifat dimana seseorang menganggap mulia atau meninggikan diri sendiri sembari memandang remeh orang lain. Artinya, dalam sifat sombong terdapat orang lain yang dijadikan perbandingan. Sementara itu, ujub merupakan sifat dimana seseorang merasa dirinya mulia atau tinggi tanpa menjadikan orang lain sebagai perbandingan. Orang yang ujub juga merasa kelebihan yang ada padanya muncul semata-mata karena dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak menghubungkan bahwa itu semua merupakan karunia serta nikmat dari Allah.

Penyakit hati ini akan menjadikan seseorang sering meng-aku-kan diri yakni berkata “aku begini”, “aku begitu” sebagaimana iblis yang mengatakan, “Aku lebih baik dari pada Adam. Engkau menciptakanku dari api sementara Engkau menciptakannya dari tanah”. Ketika berkumpul dengan orang lain, pengidap penyakit ini biasanya suka meninggikan diri, ingin terdepan, serta menjadi pusat perhatian. Selain itu, saat berdialog, biasanya mereka tidak mau mendengarkan pendapat orang lain serta ingin menang sendiri.

Imam al-Ghazali menyatakan bahwa kedua sifat tersebut merupakan penyakit hati yang kronis. Keduanya merupakan sifat yang dibenci Allah sebagaimana ditunjukkan dalam firman-firmannya di dalam Alquran seperti dalam surah an-Nahl:23, al-A’raf:146, al-Furqan:21, at-Taubah:25, dan al-Kahfi:104.

Meski dinilai negatif, nyatanya konten flexing masih banyak digemari. Masalah flexing pun tak berhenti sampai di sini karena masih disinyalir rancu dengan tahaddu bi an-ni’mah. Tahaddu bi an-ni’mah adalah menceritakan nikmat yang diperoleh dalam rangka mensyukurinya. Allah swt. berfirman,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).”

Sepintas, ayat tersebut memang memerintahkan untuk menceritakan nikmat yang didapat. Akan tetapi untuk siapa perintah tersebut? Serta nikmat seperti apa yang harus diceritakan?

Secara eksplisit, khitab tersebut hanya ditujukan pada Nabi Muhammad saw. saja. Akan tetapi, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa khitab tersebut berlaku untuk nabi beserta ummatnya. Karena, pada dasarnya apa yang dititahkan pada nabi juga dititahkan kepada ummatnya. Hal ini berlaku selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa titah tersebut harus diberlakukan secara khusus.

Selanjutnya mengenai nikmat seperti apa yang harus disampaikan, Imam al-Mawardi menyatakan bahwa dalam memaknai ayat tersebut ada tiga pendapat.

Pertama, yang dimaksud “ni’mah” adalah kenabian sementara yang dimaksud “fa haddist” yaitu ajaklah kaum-Mu! Ini merupakan pendapat Ibnu Syajarah. Kedua, menurut Imam Mujahid yang dimaksud “ni’mah” dalam ayat tersebut adalah Alquran. Sementara itu, yang dimaksud “fa haddist” adalah sampaikanlah kepada ummat-Mu! Ketiga, pendapat Imam al-Hasan menyatakan yang dimaksud “ni’mah” adalah apa saja yang terjadi baik itu hal baik atau buruk. Sementara, “fa haddist” menurut pendapat ini memiliki dua penafsiran. Yaitu ceritakanlah hal tersebut pada orang yang dapat dipercaya. Pendapat lain mengatakan ceritakanlah pada dirimu sendiri agar penyebutanmu akan hal itu menjadi bentuk syukur.

Lalu pendapat siapa yang paling relevan untuk diikuti terkait masalah ini? Ibnu Asyur berpendapat bahwa yang dimaksud “ni’mah” dalam ayat tersebut adalah umum, sehingga mencakup segala bentuk nikmat. Sementara, “fa haddist” dalam ayat tersebut merupakan kata perintah. Menurut kaidah fikih perintah itu secara asal menunjukkan wajib sehingga berdasarkan ayat tersebut nabi wajib menceritakan nikmat yang diperoleh.

Akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa kewajiban tersebut tetap berlaku untuk nabi karena beliau merupakan manusia ma’shum (dijaga dari berbuat dosa), beliau terjaga dari sifat sombong ataupun sifat buruk lainnya, sehingga tidak ada yang menjadi māni’ (penghalang) dari kewajiban tersebut.

Berbanding terbalik dengan ummatnya yang tidak ada jaminan bersih dari sifat sombong, riya’ ataupun ujub. Belum lagi, jika diceritakan pada orang yang salah, maka cerita tersebut dapat melukai perasaan orang lain karena semisal ia belum mendapatkan nikmat yang sama dengan orang yang bercerita. Disinilah perlu adanya perenungan kembali antara lebih baik mana menceritakan nikmat tersebut atau memendamnya saja.

Menyikapi hal ini, Imam al-Razi menukil perkataan al-Husein bin Ali “Jika kamu mendapati kebaikan atau berbuat kebaikan maka ceritakanlah pada saudaramu agar ia mengikuti langkahmu”. Disamping itu, ia menambahkan catatan bahwa hal ini baik jika tidak ada unsur riya’ serta ada dugaan kuat orang lain akan mencontohnya jika yang ia lakukan adalah kebaikan seperti bersedekah.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa menceritakan nikmat termasuk di dalamnya menceritakan harta yang dimiliki, prestasi ataupun pencapaian tidak bisa dilakukan serampangan. Kita harus memerhatikan sejauh mana kita dapat mengontrol hati kita. Jangan sampai perbuatan tersebut dapat menjerumuskan kita pada sifat sombong, ujub, ataupun riya’. Disamping itu, kita juga harus memerhatikan kepada siapa kita akan bercerita. Jangan-jangan apa yang kita ceritakan malah akan menyakiti orang lain.

Wa’allahu a’lam

Referensi:

  • Bidāyatul Hidāyah
  • Ihya’ Ulūm ad-Dīn
  • Tafsir at-Tahrīr wa at-Tanwīr
  • Mafātīh al-Ghaib
  • Al-Nakt wa al-‘Uyūn

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version