Catatan Ngaji Bersama Kiai Afifuddin (4)

Catatan Ngaji Bersama Kiai Afifuddin (4)

Oleh: Maulana Nur Rohman
(Santri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

SEBELUMNYA, telah pendek dijelaskan apa itu Isytiqaq atau Logika Akar Kata (baca tulisan sebelumnya). Pengertian Isytiqaq dalam Jam’ul Jawami’ adalah upaya mengembalikan suatu kata kepada kata lain karena mempertimbangkan kesamaan makna dan huruf-huruf penyusun.

Pemahat berasal (atau akar kata) dari mashdar pahat. Dua kata ini, pemahat dan pahat, punya huruf penyusun dan makna yang sama. Yang membedakan hanyalah imbuhan pe- di depan kata pahat (di mana huruf P lalu luruh menjadi M sebab kaidah KPTS Bahasa Indonesia). Kata pertama (pemahat) adalah isim fa’il, hasil perubahan dari kata kedua (pahat) yang merupakan mashdar. Sebuah kata yang berubah bentuk, menjadi lain pula maknanya.

Perubahan bentuk adalah niscaya, pasti, dan wajib terjadi dalam Isytiqaq. La budda min taghyiirin, demikian Tajuddin al-Subki menulis. Sebab, tujuan Isytiqaq adalah demi mencari dan menggapai makna-makna baru: dari mashdar menjadi fi’il; atau menjadi isim fa’il; atau menjadi isim maf’ul; dan seterusnya. Seperti dikatakan barusan, perubahan makna baru ada ketika terjadi perubahan bentuk.

Perubahan bentuk ini imma secara nyata terlihat (tahqiqan) wa imma secara perkiraan saja (taqdiran). Perhatikan dua kata musytaq dan musytaq minhu berikut:

(1) الضَّرْبُ وَ ضَرَبَ (2) الطَّلَبُ وَ طَلَبَ

Pasangan kata pertama punya perbedaan pada harakat huruf hijaiyah ra’: yang mashdar berharkat sukun dan yang fi’il berharkat fathah. Ada perubahan yang tampak jelas di sana. Sementara pasangan kata kedua punya harakat yang persis sama, baik dalam tha’ atau dalam lam (tha la ba). Di sini, mesti di-taqdir bahwa fathah pada lam mashdar bukanlah fathah pada lam fi’il. Kendati sama, keduanya berbeda. Adapun perbedaan harakat di akhir kalimat, itu bukanlah berasal dari Isytiqaq, melainkan disebabkan oleh I’rab (berubah karena menyesuaikan ‘amil) sehingga tidak diperhitungkan dalam bahasan ini. Demi lebih jelas lagi, perhatikan dua kalimat berikut (yang satu punya arti banyak sementara yang lain tunggal),

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“dan jika kalian adalah orang-orang yang junub maka mandilah”

)وَفَرَائِضُ الْغُسْلِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ): أَحَدُهَا (النِّيَّةُ)، فَيَنْوِي ‌الجُنُبُ رَفْعَ الجَنَابَةِ

“Fardlu-fardlu mandi ada tiga. Pertama, niat. Sehingga seorang yang junub harus berniat menghilangkan janabah.”

Penggunaan Musytaq: Yang Bebas dan Terbatas

Kata “pencuri” (atau al-sariq) –isim fail dan salah satu contoh musytaq– digunakan untuk setiap orang yang melakukan (atau punya sifat) pencurian. Sehingga, ketika al-Qur’an mengatakan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan menerima hukuman potong tangan, termuat di dalam kata “pencuri” pada ayat tersebut orang yang mencuri perhiasan dari toko emas dan orang yang hanya mencuri sebungkus permen dari swalayan. Namun, lantaran ada keterangan hadits bahwa hanya jika barang curian bernilai seperempat dinar hukuman potong tangan baru dijatuhkan, kata “pencuri” dalam ayat al-Quran tidak lagi berlaku secara umum seperti sedia kala. (Ini disebut Takhsis al-Quran bi Sunnah)

Berbeda dengan kata al-sariq yang bebas dijadikan identitas bagi setiap orang yang mencuri, kata al-qarurah hanya berlaku pada botol, tidak bagi gelas, cerek atau kendi, kendati pada dasarnya al-qarurah punya arti asal “wadah air”. Ketentuan semacam ini adalah sama’iy, sementara bagian sebelumnya adalah qiyasiy.

Inilah, serta penjelasan sejak awal catatan tadi, yang hendak disampaikan oleh Tajuddin al-Subki dalam kalimat ringkas,

وَلَا بُدَّ مِنْ تَغْيِيْرٍ وَ قَدْ يَطَّرِدُ كَاسْمِ الْفَاعِلِ وَ قَدْ يَخْتَصُّ كَالْقَارُوْرَةِ

“Harus ada perubahan (dalam Isytiqaq). Terkadang, Isytiqaq berlaku bebas (qiyasiy) dan terkadang Isytiqaq berlaku terbatas (samaiy).”

Dari Teorema Bahasa Sampai Perdebatan Akidah

Pengajian Kiai Afif pagi ini (30/05) juga mendedah kaitan konsep Isytiqaq dengan perdebatan akidah Asy’ariyah dan Muktazilah. Perdebatan ini bersumber dari pendapat tiap-tiap mazhab terhadap kaidah bahasa berikut,

وَمَنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ وَصْفٌ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُشْتَقَّ لَهُ مِنْهُ اسْمٌ خِلَافًا لِلْمُعْتَزِلَةِ

“Siapa yang tidak melekat padanya Sifat (musytaq minhu) tidak boleh disematkan pada dirinya sebuah nama yang terbuat (musytaq) dari sifat tersebut. Ini berbeda dengan pendapat Muktazilah.”

Maksudnya, seorang pencuri disebut demikian karena ulahnya melakukan pencurian. Pembimbing, penerjemah, perawat juga sama, karena mereka membimbing, menerjemahkan dan merawat. Tiba-tiba menyatakan seorang anak kecil polos sebagai pengkhianat negara, misalnya, adalah tidak sah menurut kaidah di atas, bahkan merupakan sebuah tuduhan tanpa dasar. (Penulis habis membaca buku Namaku Alam, ed)

Dengan alur logika yang sama, kita (Asy’ariyah) mantap menyatakan bahwa Allah swt. punya sifat-sifat Maha Mengetahui (al-‘alim) dan Maha Kuasa (al-qadir). Itu karena Allah swt. berfirman tentang diri-Nya di dalam al-Quran sebagai Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Kuasa.

إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ  …  وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)  …  “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah: 284)

Pada titik inilah Muktazilah berbeda pendapat. Betul bahwa Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Namun, terhadap ke-Maha Mengetahui dan ke-Maha Kuasa-an Allah swt., Muktazilah tidak mengakuinya sebagai sifat-sifat Allah, akan tetapi Allah swt. Maha Mengetahui dan Maha Kuasa dengan Dzat-Nya. Semata-mata Dzat (ke-Diri-an Tuhan).

Jelasnya, Muktazilah beranggapan begini: Kalau Allah swt. punya sifat-sifat, maka sifat-sifat itu adalah hal yang lain dan bukan diri Allah swt. Sementara, katakanlah sifat-sifat yang fana tidak layak dinisbatkan kepada Allah, itu berarti hanya Sifat-sifat yang abadi yang dinisbatkan kepada Allah. Tapi, bukankah itu artinya Sifat-sifat Maha Kuasa dan Maha Kuasa adalah juga abadi (qadim)? Muktazilah menolak wujud yang abadi selain Allah (ta’addud al-qudama’) karena hal itu mencederai ke-Esa-an Tuhan. Itulah mengapa mereka menolak kehadiran sifat-sifat Allah swt.

Sejatinya, Asy’ariyah juga sepakat bahwa tiada wujud yang abadi selain Allah swt. Bedanya, Asy’ariyah memahami selama sesuatu yang abadi tersebut bukan sebuah dzat (diri), hanya berupa sifat-sifat aksidental, seperti sifat Maha Mengetahui dan Maha Kuasa dari Allah swt, maka tidak ada masalah. Tetap hanya ada satu Dzat yang abadi selamanya (qadim) dan Itu adalah Allah Yang Maha Esa. Sehingga, Sifat-sifat Allah itu, kata Kiai Afif seraya mengutip satu kaidah akidah,

لَا هِيَ هُوَ وَلَا هِيَ غَيْرُهُ

“Sifat-sifat Allah itu bukanlah Allah dan juga bukanlah selain Allah (Sifat-sifat Allah bukan makhluk).”

Catatan pengajian ini akan saya sambung pada tulisan berikutnya menimbang cukup banyak materi yang Kiai Afif bawakan kali ini. Jika saja masih cukup ruang, bahasan selanjutnya akan menerangkan kaitan konsep Isytiqaq dengan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tentang mimpi penyembelihan. Insya Allah.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version