Catatan Pengajian Kiai Afifuddin Muhajir 5

Catatan Pengajian Kiai Afifuddin Muhajir 5

Oleh: Maulana Nur Rohman
(Penulis adalah mahasantri Marhalah Tsaniyah Mahad Aly Situbondo)

A P A kaitan konsep Isytiqaq dengan Nabi Ibrahim dan mimpi penyembelihan? Catatan kali ini menjelaskan bagaimana teorema bahasa ikut digunakan dalam memahami ayat tentang peristiwa penyembelihan Nabi Ismail (atau Nabi Ishaq dalam versi yang lain).

Nabi Ibrahim mendapat karunia seorang anak yang santun saat sudah begitu tua. Ketika anak kesayangannya itu sampai pada usia sanggup bekerja (remaja), Nabi Ibrahim dengan berat hati mengungkapkan mimpinya yang membuatnya gelisah, “Wahai buah hatiku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Telah maklum bersama, mimpi seorang nabi adalah wahyu, dan isyarat perintah Tuhan. Mari cermati ayat berikut,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ الله مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat: 102)

Dari ayat di atas, kelompok Muktazilah mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah al-Dzabih, sosok yang melakukan penyembelihan, dengan kalimat yang lebih detail: Nabi Ibrahim benar-benar mengurbankan (dengan makna hakikat) anaknya seperti apa yang umat Islam lakukan terhadap hewan kurban. Ihwal ini, kelompok Muktazilah sepakat semua. Namun, apakah dalam penyembelihan itu Nabi Ismail sampai merasakan sakit di lehernya karena sayatan pisau?

Jika Nabi Ibrahim adalah al-Dzabih, maka pasti Nabi Ismail adalah al-Madzbuh, sosok yang disembelih. Karena itu, menurut sebagian besar Muktazilah, Nabi Ismail memang betul kesakitan saat prosesi penyembelihan. Asumsi ini selaras dengan atribusi Nabi Ismail sebagai al-Madzbuh. Sebab, jika tidak merasakan sakit penyembelihan (sifat al-Dzabhu), tentu Nabi Ismail tidak akan layak diatribusikan sebagai al-Madzbuh.

Tapi, dari golongan Muktazilah sebagian ada yang mengatakan Nabi Ismail tidaklah merasakan sakit apapun dari penyembelihan, dan hal ini tidak menjadi masalah bagi atribusi al-Dzabih untuk Nabi Ibrahim atau al-Madzbuh untuk Nabi Ismail. Atribut al-Madzbuh tetap bisa dinisbatkan kepada Nabi Ismail kendati tidak ada sifat al-Dzabh (penyembelihan). Pendapat kelompok ini: Musytaq bisa dibentuk meski tanpa kehadiran Musytaq Minhu di dalamnya.

Adapun menurut Asy’ariyah, Nabi Ibrahim sama sekali tidak sampai menyembelih Nabi Ismail dalam arti sebenarnya. Sehingga, atribut al-Dzabih dan al-Madzbuh tidak layak diatribusikan untuk Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sesuai kaidah Isytiqaq sebelumnya. Betul bahwa Nabi Ibrahim dan putranya telah berserah diri, hendak menjalankan perintah penyembelihan, bahkan pelipis Nabi Ismail telah siap di atas gundukan tanah. Hanya saja, sebelum mata pisau menyentuh leher Nabi Ismail, datanglah wahyu Allah, mengabarkan kelulusan Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah dan,

وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ

“Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar.” (Q.S. Ash-Shaffat: 107)

Alhasil, seluruh perbedaan pendapat di atas bermula dari kaidah bahasa Isytiqaq, seperti telah dijelaskan dalam seri sebelumnya. Sampai di sini, Imam al-Subki kembali mempertegas,

فَإِنْ قَامَ بِهِ مَا لَهُ اسْمٌ وَجَبَ الْاِشْتِقَاقُ أَوْ مَا لَيْسَ بِهِ اسْمٌ كَأَنْوَاعِ الرَّوَائِحِ لَمْ يَجِبْ

“Apabila telah nyata sebuah sifat yang memiliki nama di dalam diri suatu sosok maka wajib ada Isytiqaq, atau jika sifat itu tidak memiliki nama khusus, seperti macam-macam aroma, maka tidak boleh ada Isytiqaq.”

Hakikat-Majas dalam Musytaq

Di suatu hari, Nabi Muhammad menerima wahyu surat al-Zumar ayat 30 yang mengatakan bahwa beliau adalah mayyit. Begitu pula, mereka yang ingkar kepada Nabi Muhammad juga adalah mayyit.

اِنَّكَ مَيِّتٌ وَّاِنَّهُمْ مَّيِّتُوْنَۖ

Saat menerima wahyu ini, Nabi Muhammad masih hidup. Lalu kenapa bisa al-Qur’an mengatakan Nabi Muhammad, dan orang-orang yang ingkar pada beliau, adalah mayyit?

Keterangan wahyu bahwa Nabi Muhammad adalah mayyit (telah mati) padahal saat itu beliau masih hidup mesti dipahami dengan arti majas. Maksudnya, Nabi Muhammad sebagai seorang manusia biasa (yang menerima tugas kerasulan) pada akhirnya akan menjumpai ajal. Saking pastinya kematian itu bagi seorang manusia, termasuk Nabi Muhammad, maka al-Qur’an mengatakan Nabi adalah mayyit. Mayyit sendiri adalah isim fa’il, musytaq (dibentuk) dari kata maata (telah mati), sehingga ada proses Isytiqaq di sini. Adapun terjemahan mainstream atas ayat ini adalah,

“Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad akan) mati dan sesungguhnya mereka pun (akan) mati.” (Q.S. Az-Zumar: 30)

Alur pemaknaan yang serupa terdapat dalam bahasa komunikasi dua anak muda yang kasmaran. Mereka saling memanggil satu sama lain dengan panggilan papa dan mama, padahal belum lagi menikah dan mempunya anak. Itu lantaran mereka merasa pasti akan menikah. Mereka lupa perkataan Benjamin Franklin: tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan pajak.

Penjelasan ihwal kata mayyit dan papa-mama di atas menjadi contoh bagi sebuah kata musytaq yang di dalamnya tidak/belum nyata makna musytaq minhu (kematian dan ikatan pernikahan). Karena itu, keduanya bermakna majas. Sebaliknya, saat musytaq diucapkan ketika di sana masih eksis makna musytaq minhu, semisal sebutan “pembaca” bagi Anda sekarang yang tengah membaca catatan ini atau “pembicara” ketika Anda berbicara sendiri, maka itulah bentuk hakikat (sebenar-benarnya) penggunaan kata musytaq. Kata Imam al-Subki,

وَالْجُمْهُوْرُ عَلَى اشْتِرَاطِ بَقَاءِ الْمُشْتَقِّ مِنْهُ فِى كَوْنِ الْمُشْتَقِّ حَقِيْقَةً إِنْ أَمْكَنَ وَ إِلَّا فَأَخِرُ جُزْءٍ مِنْهُ وَ ثَالِثُهَا الْوَقْفُ

“Jumhur (pendapat pertama) berpendapat perlu ada syarat eksistensi penuh makna musytaq minhu dalam sosok diri kata musytaq, jika memungkinkan, agar kata itu bisa diartikan secara hakikat (“pembaca”). Jika tidak mungkin secara penuh eksis, maka sekadar masih tersisa bagian akhir makna musytaq minhu saja (“pembicara”). Pendapat ketiga memilih waqf. (Mafhumnya: pendapat kedua adalah kebalikan pendapat pertama.)”

Lanjutan catatan ini akan menjawab pertanyaan, “Mengapa seorang koruptor masih kena hukuman padahal korupsi dirinya terjadi satu tahun lalu?”

*Catatan pengajian Jam’ul Jawami’ di Kamis Pagi, 30 Mei 2024. Ditashih oleh Dr. Lora Miftahus Surur dan Ust. Ahsanul Arifin, M.Ag.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version