Fikih Peradaban: Halaqah Ke-25 Di Situbondo, Sekilas Penjelasan Gus Ulil Absar Abdalla

Fikih Peradaban: Halaqah Ke-25 Di Situbondo, Sekilas Penjelasan Gus Ulil Absar Abdalla

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam mengisi satu abad berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) merencanakan kegiatan halaqah dengan durasi waktu sampai puncak resepsi 1 abad ada 70 titik tempat dan sekitar 250 halaqah, Kegiatan ini prinsipnya bagaimana memantik warga NU untuk lebih kritis menyikapi persolan-persoalan kekinian dorongan untuk selalu menganalisa persoalan, semua persoalan yang menjadi keputusan dan tindakan berdasar maqashid syar’i.

Pada halaqah fikih peradaban yang ke-25 ini digelar di pondok Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Dalam halaqah ke-25 dibagi menjadi dua majelis. Pertama, halaqah yang disampaikan oleh pengasuh KH. Azaim Ibrahimy berkolaborasi dengan Gus Ghafur Maimoen dan ketua PCNU Situbondo, KH. Muhyiddin khatib sebagai pemandu acara.

Sedangkan jalsah ke-2 disampaikan oleh ketua panitia halaqah peradaban yaitu Gus Ulil Absar Abdallah dan Ketua Syuriah PCNU Situbondo KH. Zainul Muin Husni. Sementata itu, yang menjadi moderator adalah KH. Imam Nakhe’i salah seorang akademisi jebolan Ma’had Aly Situbondo.

Tulisan ini merupakan beberapa catatan penting dari Gus Ulil ketika menyampaikan materi di halaqah Fikih Peradaban.

Kenapa Fikih Peradaban?

Mula-mula Gus Ulil melontarkan pertanyaan filosofis, kenapa harus fikih peradaban?

Istilah peradaban menurut Gus Ulil lebih bersifat ingklusif dan tidak terlalu kontroversial. Hal ini berbeda dengan istilah Islam Nusantara yang lebih ekslusif di kalangan nusantara. Karena istilah ini bisa menerima masukan dari berbagai kelompok. Siapapun bisa diajak berdialog di dalam istilah ini.

Selain itu, Gus Ulil menambahkan bahwa istilah ini (fikih peradaban) tidak menimbulkan kecurigaan dan ketakutan dan lain semacamnya. Dan memang salah satu agenda besar dari ketua PBNU Gus Yahya adalah ingin mendialogkan aspirasi NU ke panggung global tidak hanya kalangan islam namun juga di luar islam, yaitu membawa NU pada panggung internasional.

Oleh sebab itu, harus menggunakan istilah yang baik-baik saja. Agar bisa diterima setiap kalangan. Beliau melanjutkan, bahwa istilah peradaban sendiri bukan hal yang baru di kalangan islam. karena salah satu bapak sosiologi dan sejarawan besar muslim yaitu Ibnu Khaldun sudah menggunakan istilah ini dalam kitabnya Muqaddimah, tandas Gus Ulil Abasar Abadalla.

Perdaban dalam Konsepsi Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun mengistilahkan peradaban sebagai “al-‘umran al-Basyari”. Dan Beliau menulis salah satu statemen dalam pembukaannya yang sering dikutip oleh para penulis yaitu al-Insan Madaniun bi al-Thabai’ (manusia cenderung beradab secara natural). Kata Gus Ulil.

Kenapa manusia cenderung beradab?

Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa manusia cenderung beradab karena manusia diciptakan oleh Allah swt begitu rupa sehingga ia tidak bisa survive kecuali makan. Secara natur, manusia bisa makan ketika bergerak untuk mencarinya sehingga terpenuhi kebutuhannya tersebut. Gus Ulil juga menandaskan bahwa dasar tenaga penggeraknya peradaban sejatinya adalah hasrat manusia untuk makan dan minum atau kebutuhan primernya. Dan mencari makanan tidak bisa dilakukan dengan sendirian. Dengan kata lain, manusia membutuhkan organisasi baik organisasi mikro maupun makro. Organisasi makro adalah negara. Oleh sebab itu, ilmu politik merupakan ilmu yang sangat penting.

Menurut Gus Ulil, salah satu unsur filsafat adalah filsafat politik sebagaimana beliau mengutip keterangan Imam al-Ghazali dalam kitab Mungkidz min al-Dlalal yang mengklasifikasi filsafat menjadi enam bagian dan salah satunya adalah filsafat politik atau mengatur rumah besar yang disebut negara.

Dalam islam, kita banyak mengenal bentuk-bentuk negara. Dari negara khilafah pada masa khulafa al-Rasyidun, sistem kerajaan masa Umayyah, Abbasiyah hingga kerajaan mataram islam yang secara the facto masih eksis sampai sekarang yaitu kerajaan Jogja dan Solo. Semua itu adalah bentuk riil dari peradaban tersebut.

Konsekuensi dari Menerima yang Universal (Negara Bangsa)

Dalam konteks Negara Bangsa, Fikih Siyasah sangatlah urgen, yang kemudian dikembangkan menjadi fikih peradaban. Sebab adanya bentuk negara bangsa (yang tidak sama dengan konsep negara tradisional dulu) membawa perubahan besar di dalamnya. mulai dari sturktur organisasi hingga relasi antara rakyat dan penguasa dan relasi sesama warga negara.

Di sisi lain, para tokoh NU sudah menerima Negara Bangsa maka mau tidak mau harus menerima konsekuensinya. Gus Ulil mencontohkan, konsekuensi penerimaan Negara bangsa yaitu menerima fikih (baca: aturan) yang diputuskan parlemennya. Namun demikian, penerimaan tersebut tidak mutlak sebab jika tidak sesuai dengan nafas Islam (tidak setuju) maka bisa ditolak dengan regulasi yang telah ditetapkan. akan tetapi, secara teori ketika menerima yang universal maka harus menerima yang parsial.

Gus Ulil mengingatkan konsekuensi tersebut kepada seluruh hadirin termasuk K.H. Afifuddin Muhajir, yang kebetulan hadir, sebagai tokoh yang telah menerima Negara Bangsa melalui teorinya maqhasid al-Syari’ah. “Saya sendiri, husnuzan bahwa seluruh tokoh-tokoh NU yang menerima Negara Bangsa dan Pancasila sadar betul konsekuensi yang akan diterima” tandas Gus Ulil. Gus Ulil mengemukakan fakta menarik yang mendorong dirinya berkesimpulan bahwa para tokoh yang menerima Negara Bangsa itu akan menerima konsekuensinya setidaknya terefleksikan dalam keputusan Munas tahun 1992 menyatakan bahwasanya bahtusl masail yang dirumuskan juga mesti mempertimbangkan hukum-hukum positif.

Dan dalam tataran praktiknya NU yang dinahkodai oleh para alim ulama tokoh bangsa konsekuen terhadap keputusannya. Misalnya keputusan tentang status warga negara. Di mana non-mulim yang ada di Indonesia tidak bisa dikategorikan sebagaimana yang tertera dalam fikih klasik. Karena memang konsep Negaranya berbeda. Hal itu contoh kecil bahwa NU sangat konsekuen dalam putusannya untuk menerima Negara Bangsa. Seluruhnya itu mencerminkan terobosan yang progresif di kalangan NU.

Terakhir, setelah Gus Ulil menyampaikan materi, Pak. Nakhe’i sebagai moderator memberikan waktu terhadap KH. Afifuddin Muhajir sebagai pernyataan. Dalam acara itu, KH. Afif tidak banyak menyampaikan tentang materi (karena memang bukan pembicara) namun beliau melontarkan statemen luar biasa, “Ketika menerima yang universal (Negara Bangsa) maka harus mengawal parsialnya”. (M Soleh Shofier)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version