Hikmah Nabi Berijtihad

Hikmah Nabi Berijtihad

Apakah Nabi berijtihad? Ini merupakan perbincangan klasik dalam kitab-kitab Usul Fikih. Secara umum, ulama terbelah menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Nabi tidak mungkin berijtihad karena apapun yang keluar dari beliau merupakan wahyu dari Allah. Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa Nabi berijtihad dan ijtihadnya pasti benar. Pendapat pertama mendasarkan pada QS. An-Najm, ayat 3-4:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keinginannya. Tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),”

Sementara ulama lain menolak pandangan di atas dengan membeberkan fakta-fakta bahwa Nabi benar-benar berijtihad. Di antara ijtihad Nabi yang masyhur adalah ijtihad menentukan posisi kaum muslimin di Badar. Saat itu, Nabi menempatkan posisi kaum muslimin jauh dari air supaya musuh masih bisa mengakses sumber air tersebut.

Hubaib bin Al-Mundzir, sahabat yang sangat menguasai medan mempertanyakan keputusan Nabi tersebut. “Wahai Rasul, apakah ini (penempatan posisi) wahyu atau hasil pikiranmu sendiri?” Lantas Nabi menjawab bahwa itu merupakan hasil pikiran atau ijtihad beliau pribadi. Hubaib tidak setuju dengan hasil ijtihad Nabi ini. Ia menyarankan supaya pasukan kaum muslimin menguasai sumber air agar tidak dapat diakses oleh musuh sehingga kekuatan mereka melemah.

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, dalam kitab Syari’atullah al-Khalidah: Dirasah fi Tarikh Tasyri’ al-Ahkam wa Madzhab al-Fuqaha’ al-A’lam, keputusan Nabi untuk tidak mengusai air terdorong oleh sifat kasih sayang yang dimilikinya sekalipun terhadap musuh. Menghalangi musuh dari sumber air, serupa menyiksa hewan dengan cara tidak diberi minum. Tentu ini tidak dibolehkan.

Namun demikian, akhirnya Nabi setuju dengan saran Hubaib. Menurut Hubaib, mengusai sumber air adalah taktik untuk memperoleh kemenangan dalam perang. Musuh dalam perang (al-harby) tidak perlu dikasihani karena mereka bukan makhluk yang dimuliakan (muhtaram).

Dari contoh ini, kita dapat melihat bahwa Nabi tidak hanya berijtihad, melainkan juga beradu ijtihad dengan sahabatnya dan menerima hasil ijtihad yang lebih maslahat meskipun bukan berasal dari beliau. Walaupun berstatus sebagai Nabi, beliau tetap terbuka terhadap kritik dan memberikan ruang kebenaran di luar dirinya. Nabi Muhammad Saw. bukanlah pohon besar yang menghalangi tumbuhan kecil di bawahnya untuk mendapatkan sinar matahari.

Sebenarnya ada banyak contoh lain yang dapat membuktikan bahwa Nabi berijtihad. [Silahkan baca kitab karya Sayyid Muhammad di atas pada halaman 36-39]. Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian, apa hikmah yang dapat dipetik oleh umat dari ijtihad-ijtihad Nabi?

Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani menulis (h.40),

من حكمته (اجتهاده عليه الصلاة و السلام) تعليم الأمة و تدريبها على الإجتهاد فى الأحكام، و استنباط الأحكام التى تناسب كل مكان و زمان، وعدم الجمود على ظواهر النصوص، لأن ذلك عاتق عن الترقى و التطور فى أطوار تناسب الزمان و المكان

Penjelasannya kurang lebih begini: Dengan ijtihad, Nabi sejatinya mendidik umat Islam untuk berani berijtihad memproduksi hukum yang relevan dengan konteksnya (ruang dan waktu atau situasi dan kondisi) dan melatih umat agar tidak bersifat rigid dalam memahami teks (nash). Terlalu kaku dalam memegangi teks sembari mengabaikan konteks merupakan penghambat kemajuan umat Islam dalam merespon konteks atau realitas yang selalu berkembang.

Bahkan, Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dari kalangan Mazhab Hanabilah (Mazhab panutan para tekstualis) mengecam sikap kaku tersebut,

وَ الْجُمُوْدُ عَلَى الْمَنْقُوْلَاتِ أَبَدًا ضَلَالٌ فِى الدِّيْنِ وَ جَهْلٌ بِمَقَاصِدِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ وَ السَّلَفِ الْمَاضِيْنَ.

“Sikap kaku dengan terus bertahan pada nukilan-nukilan ialah bentuk kesatuan dalam agama dan ketidakpahaman terhadap maksud tujuan ulama umat muslim dan para salaf pada zaman dahulu.” [A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, III, 99]

Menurut al-Maliki, pendapat yang menyatakan bahwa Nabi tidak berijtihad mestinya ditolak lantaran pendapat tersebut menafikan tugas agung yang diemban oleh Nabi. Ijtihad adalah tugas mulia dan pahalanya bersifat pasti. Sebab walaupun hasilnya salah niscaya mendapat pahala. Di samping itu, pendapat tersebut bertentangan dengan fakta-fakta bahwa Nabi betul-betul berijtihad sebagaimana diwartakan dalam berbagai hadis.

Berijtihad merupakan uswah Nabi yang kudu diteladani oleh umat muslim. Untuk menjadi masyarakat yang maju, umat muslim perlu berijtihad. Justru hal-hal yang menghambat keberanian umat Islam berijtihad yang perlu disumbat, bukan malah menyambut penutupan pintu ijtihad.

Tentunya, ijtihad ini tidak dapat dilakukan jika umat muslim bermental follower (taklid buta). Maka dari itu, ijtihad merupakan sebuah keniscayaan, dan mau tidak mau, proses tafaqquh fi ad-din tidak dapat diabaikan. [Aham]

Tulisan ini disarikan dari buku “Ushul Fikih Milenial” karya M. Riskil Azizi, M.H.I.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version