Kritik Nalar Fikih Pertambangan Gus Ulil

Kritik Nalar Fikih Pertambangan Gus Ulil

Oleh: Ust. Abd. Wahid
(Dosen Ilmu Mantik Mahad Aly Situbondo)

Dalam dua tulisannya, (silakan baca di opini Kompas dengan judul Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih dan di Islami.co dengan judul Tulisan Ulil Abshar Abdalla, Seri Pertama: Soal Tambang dan Fikih Lingkungan) Gus Ulil memajukan pandangan bahwa masalah tambang adalah masalah fikih dan khilafiyah yang tidak wajar ada pelabelan jahat oleh satu pihak terhadap pihak lain yang berbeda. Dalam poin ini saya satu posisi dengan beliau. Perisakan kepada NU lantaran 𝑔𝑒𝑟𝑐𝑒𝑝 menyambut konsesi izin tambang untuk ormas tidak sedikit yang melampaui batas dan menyalakan 𝑔ℎ𝑖𝑟𝑎ℎ saya sebagai santri NU. Saya juga berbela sungkawa kepada Gus Ulil yang konon dituduh menggadaikan kalung ilmiahnya untuk mendapatkan kredit recehan. Tetapi, ghirah dan simpati ini sama sekali tidak menghambat saya untuk tetap “kritis” terhadap Gus Ulil dan bahkan kepada pilihan “sementara PBNU”.

Gus Ulil, dalam tulisan kedua, mencoba memberikan penjelasan lanjutan dengan mengutip sekian istilah teknis dan dua kaidah fikih. Poin-poin dalam tulisan belakangan ini yang akan saya berikan ulasan dan catatan. Insyaallah, jika tidak malas, ini adalah episode pertama.

Susah untuk melenyapkan dugaan kalau dengan dua tulisannya Gus Ulil sedang berupaya memberikan justifikasi moral bagi “pilihan PBNU” (tanda petik saya pasang karena Gus Ulil sendiri mengakui tidak ada ijma’ di kalangan ulama NU). Dan, saya mendapati kesan beliau bersusah payah, kalau bukan memaksa, dalam upayanya tersebut. Tentu, ini kesan pribadi yang boleh jadi muncul lantaran saya bukan pembaca wacana yang baik. Tetapi, saya akan menunjukkan mengapa kesan ini muncul.

Yang pertama, dan bagi saya ini utama, Gus Ulil menghindar atau sembunyi dari pertanyaan krusial terkait konsistensi dan komitmen PBNU menyangkut pelestarian lingkungan. Seperti diberikan oleh beberapa media, PBNU akan mendapatakan jatah pengelolaan tambang batu bara bekas PT. KPC. Sementara, ingatan publik masih segar akan hasil rekomendasi Muktamar Ke-34 NU. Disebutkan dalam poin 2 dan sub bahasan I (Pelestarian Lingkungan dan Iklim) sebagai berikut, “…Pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai tahun 2022 dan pengurangan produksi batubara mulai tahun 2022…”

Pertayaan ini tentu rumit dijawab. Mungkin memerlukan perangkat teknis fikih lainnya, misalnya pertentangan antara 𝑞𝑎𝑢𝑙 𝑞𝑎𝑑𝑖𝑚 dan 𝑞𝑎𝑢𝑙 𝑗𝑎𝑑𝑖𝑑?; atau ini termasuk pertentangan antara 𝑠𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ 𝑞𝑎𝑢𝑙𝑖𝑦𝑎ℎ dan 𝑠𝑢𝑛𝑛𝑎ℎ 𝑓𝑖’𝑙𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ? Atau 𝑛𝑎𝑠𝑎𝑘ℎ atau 𝑡𝑎𝑘ℎ𝑠𝑖𝑠ℎ? atau ini bagian dari karakteristik fikih seperti ditulis Gus Ulil sendiri: dinamis, pragmatis, dan kontekstual? Atau apa lagi? Tapi, apapun perangkat yang digunakan, dalam pikiran saya tetap tidak mudah menyusun argumen yang meyakinkan. Yang mudah, memang, abaikan pertanyaan ini.

Saya mungkin memaksa Gus Ulil ke persoalan yang tidak ditulisnya. Sebut saja beliau hendak menanggapi mereka yang membully manuver PBNU terkait konsesi tambang, tapi tulisan bagus nan sarat istilah itu terlalu memuliakan mereka.

Kesilapan lain Gus Ulil adalah mengasumsikan mereka yang menolak PBNU 𝑐𝑎𝑤𝑒-𝑐𝑎𝑤𝑒 dalam pertambangan adalah “pasti” aktivis lingkungan yang ekstrem. Sahabat-sahabat santri yang lugu dan masih perawan dari penetrasi ideologi environmentalisme bukan sedikit yang menyatakan penolakan. Sebut saja, kawan santri yang menulis di mading di halaman pondok saya mengabdi memajukan dalil, satu dan la tsaniya lah, rekomendasi tadi. Tulisan itu menyebut, PBNU 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑙𝑎-𝑚𝑒𝑛𝑐𝑙𝑒. Tidak ada secuil gelagat anak itu mengakidahkan isu lingkungan, bahkan dia sedang bersetia kepada fikih, fikih hasil Muktamar NU. Kalau pun mereka yang menolak adalah orang yang terpapar ideologi dimaksud, tetap terlalu mengada-ada menganggap mereka ekstrem. Sangat mungkin penolakan mereka juga berangkat dari kaidah mafsadat-maslahat seperti Gus Ulil coba rumuskan.

Meskipun dua tulisan Gus Ulil mengafirmasi bahwa mahall al-niza’ adalah masalah fikih yang terbuka dengan perbedaan, tetapi dengan terang Gus Ulil berusaha meyakinkan bahwa tambang itu boleh dan menyebut secara implisit PBNU sudah menemukan win-win solution dengan kelak menceburkan diri ke ceruk tambang bekas.

Saya menganggap Gus Ulil keliru dalam mengidentifikasi 𝑚𝑎ℎ𝑎𝑙𝑙 𝑎𝑙-𝑛𝑖𝑧𝑎’: pokok bahasan yang sedang diperselisihkan. Tulisnya, “Apakah tambang, terutama batubara (karena inilah yang menjadi 𝑚𝑎ℎ𝑎𝑙𝑙 𝑎𝑙-𝑛𝑖𝑧𝑎’, sumber kontroversi, saat ini), haram atau halal?” Kesalahan dalam identifikasi ini, fikih menyebutnya sebagai instisyar. Hukumnya terlarang. Logika menyebutnya 𝑖𝑔𝑛𝑜𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜 𝑒𝑙𝑒𝑛𝑐ℎ𝑖 atau 𝑚𝑖𝑠𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡. Hukumnya sesat (dalam pengertian logika).

Seharusnya, 𝑚𝑎ℎ𝑎𝑙𝑙 𝑎𝑙-𝑛𝑖𝑧𝑎’-nya adalah pertanyaan: apakah PBNU boleh, pantas, layak, dan maslahat jika mengelola tambang batu bara bekas? Sebelum membaca tulisan Gus Ulil, saya dan mungkin teman-teman yang kontra, tidak berpikir untuk mendiskusikan apakah tambang (menambang SDA) itu halal atau haram. Itu karena kami, pelajar fikih, tahu betul itu halal bahkan dengan bermodal kaidah fikih satu dua saja. Tetapi, dengan mengajukan pertanyaan ini, Gus Ulil membuka jalan mulus untuk secara lamat-lamat menyimpulkan pilihan sikap PBNU adalah semacam 𝑤𝑖𝑛-𝑤𝑖𝑛 𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡𝑖𝑜𝑛. Akal kita menolak penyimpulan semacam ini.

Ketergelinciran logik lainnya adalah ilustrasi Gus Ulil tentang pertentangan dua mafsadat. Tulisnya, “Terminasi secara total penggunaan batubara sekarang juga jelas akan menimbulkan mafsadat besar, sebab ….berapa juta orang yang terdampak oleh kebijakan terminasi semacam ini? Berapa juta murid yang harus kehilangan kesempatan belajar karena mati listrik akibat terminasi penggunaan batubara, misalnya? Dan seterusnya, seterusnya.”

Jika ilustrasi ini dimaksudkan untuk menopang kesimpulan “kita bisa mencapai win-win solution”, maka secara tidak sengaja Gus Ulil tergelincir di 𝑆𝑙𝑖𝑝𝑝𝑒𝑟𝑦 𝑆𝑙𝑜𝑝𝑒. Ilustrasi ini terdengar hendak menyatakan bahwa 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑎𝑏𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑦𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑚𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑛𝑢ℎ 𝑑𝑖𝑟𝑖 dengan agumen berikut: jika tidak mandi maka teman terganggu, jika teman terganggu maka belajar terganggu lalu tidak lulus UAS, jika tidak lulus maka orang tuanya harus menyiapkan bayaran sks lagi, stres, depresi, dan akhirnya bunuh diri.

Mereka yang kontra PBNU mengelola tambang batu bara tidak bermaksud melakukan upaya terminasi pertambangan batu bara hari ini juga, apalagi secara mendadak. Sikap kontra ini, setidaknya bagi saya, sama sekali bukan kontra kepada semua kegiatan pertambangan, misalnya eksplorasi SDA oleh suatu perusahaan tambang. Saya, misalnya, hanya mempertanyakan mengapa PBNU harus secara langsung terlibat.

Hemat saya, Gus Ulil dengan dua tulisannya sementara ini hanya hendak mengatakan pertambangan itu halal. Oleh karena itu, siapapun, termasuk PBNU, boleh ikut-ikutan menambang. Singkatnya, Gus Ulil menganggit syarah atau hasyiyah atas matan Gus Yahya, “Pertama-tama saya katakan, NU ini butuh, apapun yang halal, yang bisa menjadi sumber revenue untuk pembiayaan organisasi.”

Halal! Kita tahu halal adalah separuh dari kriteria yang sebaiknya manusia makan. Saparuh sisanya, 𝑡ℎ𝑎𝑦𝑦𝑖𝑏. (QS. 2: 168)

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di wazanmedia.com

One thought on “Kritik Nalar Fikih Pertambangan Gus Ulil”

  1. Tulisan yang bagus, mudah dipahami argumennya ustadz

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version