Kuliah Pagi (5): as-Sunnah: Legalitas dan Hubungannya dengan Alquran

Kuliah Pagi (5): as-Sunnah: Legalitas dan Hubungannya dengan Alquran

Oleh: Ali Ahmad Syaifuddin
(Santri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

Kuliah Pagi akan hadir kembali menayangkan tulisan yang berisi teori-teori usul fikih. Sebelumnya, kita sudah mengenal sumber hukum pertama dan utama dalam usul fikih, yakni Alquran. Kali ini kita akan mencoba mengenal lebih dekat dengan sunnah yang menjadi dalil berikunya.

Sunnah secara etimologi adalah jalan, cara atau metode. Sementara menurut terminologi, sunnah adalah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan Nabi Muhammad saw. Definisi yang terakhir ini menunjukkan pembagian sunnah yang terbagi menjadi tiga macam: sunnah qouliyah, sunnah fi’liyah dan sunnah taqririyah.

Sunnah qauliyah artinya sunnah yang berupa sabda atau perkataan. Sebagian besar sunnah Nabi berbentuk sunnah qouliyah. Contohnya seperti sabda Rasulullah saw, “Salatlah kalian sebagaimana salatku yang kalian lihat.” (H.R Bukhari)

Sunnah fi’liyah adalah perbuatan Rasulullah, seperti salat, haji, puasa dan semacamnya. Perbuatan akan bernuansa syar’i bila dilakukan oleh Rasulullah.

Sementara sunnah taqririyah adalah perbuatan atau perkataan sahabat yang mendapat legitimasi Rasulullah. Legitimasi itu dapat dilihat dari respon Nabi setelah melihat perbuatan atau perkataan sahabat berupa diam bersama tidak ada pengingkaran atau dengan menunjukkan kegembiraan.

Kalau yang dilakukan sahabat salah tentu Rasulullah akan menegurnya; tidak akan diam lebih-lebih bergembira. Pada akhirnya, penetapan Nabi atas perbuatan dan perkataan sahabat sama halnya dengan yang muncul dari beliau sendiri.

Termasuk dari sunnah taqririyah adalah hadis tentang Muadz bin Jabal yang diutus oleh Rasul ke Yaman.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ ‏”‏ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ‏”‏ ‏.‏ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ ‏.‏ قَالَ ‏”‏ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ”‏ ‏ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  قَالَ ‏”‏ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلاَ فِي كِتَابِ اللَّهِ ‏”‏ ‏ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلاَ آلُو.‏

Artinya: “Sesungguhnya saat ingin mengutus Muadz ke Yaman, Rasulullah bersabda: “bagaimana caramu memutuskan persoalan yang datang ke padamu?” Muadz menjawab: “Aku akan memutuskannya dengan kitabullah.” Rasulullah melanjutkan: “Kalau kamu tidak menemukannya di kitabullah?” Muadz kembali menjawab: “Maka dengan sunnah Rasulullah.” Rasulullah bertanya kembali: “Kalau kamu tidak menemukannya di sunnah Rasulullah dan juga tidak di kitabullah?” Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad menggunakan pikirannku dan aku tidak akan ceroboh.””

Rasulullah kemudian mengakui kabsahan metode pengambilan hukum yang dilakukan oleh Muadz dengan bersabda:

فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ ‏”‏ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ

Artinya: “Rasulullah menepuk dada Muadz seraya bersabda, “Segala puji milik Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah lantaran telah membuat Rasulullah ridha.””

Legalitas as-Sunnah

Para ulama sepakat kalau sunnah merupakan sumber hukum Islam. Para mujtahid dapat menelurkan hukum dari sunnah. Hukum yang lahir wajib diikuti sebagaimana hukum yang berasal dari Alquran. Legalitas sunnah sebagai sumber hukum memiliki beberapa dalil atau bukti.

Pertama, Alquran. Banyak ayat Alquran yang berisi perintah menaati Rasulullah. Manaati Rasulullah sama halnya dengan menaati Allah. Alquran juga memerintahkan umat untuk memverifikasi persoalan kepada Allah dan Rasulullah. Tidak ada pilihan kecuali taat bila Allah dan Rasulullah telah memberikan keputusan. Ini membuktikan apa yang dibawa Rasulullah sesungguhnya datang dari Allah.

Kedua, konsensus sahabat atas kewajiban mengikuti sunnah. Para sahabat mengikuti setiap perintah Rasulullah dan menjauhi setiap larangannya, sebagaimana mereka taat kepada perintah yang ada di dalam Alquran dan menjauhi larangannya. Mereka tidak membeda-bedakan perihal hukum yang lahir dari Alquran ataupun sunnah.

Hadis Muadz bin Jabal di atas dapat menjadi bukti ketaatan sahabat kepada Rasulullah. Tidak hanya itu, bukti selanjutnya adalah kisah Abu Bakar. Saat tidak mengetahui hadis guna memutuskan hukum suatu kasus, Abu Bakar lantas keluar dan bertanya kepada umat: Apakah ada di antara kalian yang hafal sunnah yang menjelaskan persoalan ini? Dan ternyata bukan hanya Abu Bakar yang melakukannya, sahabat yang lain termasuk Umar bin Khattab melakukan hal sama ketika memberikan fatwa atau putusan hukum. Tradisi ini kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya bahkan sampai saat ini.

Ketiga, dalil rasional. Perintah-perintah yang ada di dalam Alquran banyak yang berbentuk perintah global yang multi interpretatif. Alquran tidak menjelaskan lebih detail hukum-hukum termasuk bagaimana cara memberlakukannya.

Dapat kita lihat dari perintah salat yang hanya tertulis, “Tegakkanlah salat dan tunaikanlah zakat.” (Q.S Albaqarah: 43) atau perintah puasa, “Telah diwajibkan atas kalian puasa.” (Q.S Albaqarah: 183) dan perintah haji, “Haji itu hanya untuk Allah yang wajib atas manusia.” (Q.S Ali Imran: 97) Perihal bagaimana cara melakukan semua perintah itu tidak dijelaskan oleh Alquran secara rinci. Rasulullah kemudian hadir menjelaskan secara detail perintah yang masih global tersebut.

Apabila penjelasan Rasulullah tidak legal dan tidak wajib diikuti niscaya hukum-hukum Alquran tidak mungkin terlaksana. Umat tidak akan pernah mengerjakan salat, puasa atau haji, karena tidak tahu bagaimana cara melakukannya.

Hubungannya dengan Alquran

Sebagai sumber hukum sunnah terletak diurutan ke dua setelah Alquran. Hierarki ini menyebabkan ketidakbolehan beranjak menggali hukum di sunnah Rasulullah sebelum benar-benar tidak menemukannya di dalam Alquran.

Sesama sumber hukum, sunnah memiliki hubungan yang erat dengan Alquran. Interaksi yang terjalin antara sunnah dan Alquran berbentuk 3 rupa.

Pertama, sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa Alquran. Dengan demikian, hukum ditopang oleh dua dalil: Alquran dan sunnah sebagai penguat. Contoh rupa yang pertama ini antara lain perintah salat, menunaikan zakat, puasa ramadhan dan semacamnya. Perintah-perintah itu termaktub di dalam Alquran, dan Rasulullah menegaskan kewajibannya dengan melakukannya.

Kedua, sunnah menjelaskan Alquran yang masih global, membatasi yang masih mutlak dan mengkhususkan yang masih umum. Misalnya seperti perintah salat yang masih belum jelas jumlah rakaatnya atau perintah zakat yang masih belum jelas kadar kewajibannya dan semacamnya. Kemudian datang sunnah memberikan penjelasan akan hal itu.

Ketiga, sunnah memberikan putusan hukum yang tidak ada di dalam Alquran. Dengan demikian, hukum tersebut hanya berlandaskan sunnah. Alquran tidak ikut campur secara langsung. Keharaman menikahi perempuan dan bibinya sekaligus atau keharaman memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar atau keharaman memakai sutera bagi laki-laki tidak ditemukan di dalam Alquran. Hukum itu semuanya hanya ditemukan di dalam sunnah.

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa semua putusan hukum yang ditelurkan Rasulullah berasas Alquran. Artinya, dalam berijtihad Rasulullah berpedoman kepada proses analogi terhadap apa yang telah ada di dalam Alquran atau menerapkan prinsip-prinsip umum yang digunakan Alquran dalam legislasi hukum. Dengan demikian, sesunggunya Alquran ikut campur dalam proses mumutuskan hukum oleh sunnah, meskipun secara tidak langsung.


Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version