Menelisik Konsep dan Praktik Ijbar yang Disalahpahami Masyarakat dan Feminisme

Menelisik Konsep dan Praktik Ijbar yang Disalahpahami Masyarakat dan Feminisme

Di tengah masyarakat banyak praktik yang tidak tepat tentang konsep ijbar dalam pernikahan. Ijbar seringkali dipahami sebagai pintu untuk melegalkan pemaksaan dalam pernikahan yang diakukan oleh ayah kandung dan kakek terhadap putrinya yang masih perawan. Dulu ketika saya SMP, peristiwa praktik pernikahan terjadi pada adik kelas saya. Ia didesak menikah oleh orang tuanya dengan lelaki yang ia tidak sukai. Lantaran satu dan lain hal pernikahan itu tetap dilangsungkan  kendati yang cewek tetap tidak rela dinikahkan. Bahkan secara terbuka ia menentang keputusan sang ayah sebagaimana jamak diketahaui sahabat dan tetangganya.

Setelah beberapa bulan, akhirnya pasangan itu cerai. Mungkin kasus serupa juga banyak dialami oleh perempuan kendatipun endingnya berbeda. Karena tidak sedikit, mereka yang menjadi korban nikah paksa mampu mempertahankan rumah tangganya walaupun awalnya adalah paksaan bahkan segelintir ada yang bahagia.

Kasus-kasus seperti itulah yang dihimpun oleh sebagian kalangan Feminisme sebagai data untuk mengkritisi dan melakukan dekonstruksi konsep ijbar. Bahkan dalam tataran ekstrem yang kurang kooperatif terkadang konsep ijbar diklaim malapetaka dan seolah kesalahan besar dari imam-imam mazhab yang telah merumuskannya. Pertanyaannya, apakah betul peristiwa sebagaimana di muka lantaran dipengaruhi oleh konsep ijbar? Sehingga konsep ijbar layak jadi kambing hitam untuk dipersalahkan dan adili?

Tak bisa dimungkiri bahwa konsep ijbar  (aspek keagamaan) yang dipraktikkan oleh masyarakat sebagai salah satu alasan yang mendorong pemaksaan nikah. Tetapi, tidak menutup mata bahwa faktor-faktor lain semisal ekonomi, politik, dan strata sosial sesungguhnya tidak kalah urgen sebagai pertimbangannya. Kongkretnya, ijbar bukanlah satu-satunya alasan mencuatnya fenomena pemaksaan nikah di Indonesia (sekurangnya-kurangnya di komunitas saya dulu).

Beririsan dengan itu, tulisan ini adalah refleksi diri dari konsep dan praktik ijbar yang “disalah pahami” oleh sebagian (besar) masyarakat, dan secara bersamaan tulisan ini sebagai respons terhadap klaim-klaim sebagian Feminisme yang dengan lantang mengklaim ijbar adalah pintu pemaksaan dalam pernikahan yang dirumuskan oleh ulama mazhab Syafi’iyah, yang hanya modal data lapangan dan kurang memahami konsep ijbar secara komprehensif.

Walaupun ijbar di satu sisi seolah privelege bagi seorang ayah untuk menikahkan putrinya yang masih perawan akan tetapi ijbar memiliki syarat-syarat yang amat ketat di sisi lain. Artinya, konsep ijbar tidak hanya bersandar sesuatu yang abstrak yaitu kasih sayang (Li Kamali Syafaqatihi) seorang ayah atas anaknya. Tetapi ada hal-hal konkret yang juga dijadikan pijakan ijbar, sebut saja syarat-syarat yang wajib dipenuhi.

Setidaknya ada tujuh syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan hak ijbar tersebut. Tujuh syarat itu bisa dikerucutkan menjadi dua. Pertama, empat syarat untuk sahnya akad. Konsekuensinya, apabila empat syarat itu tidak terpenuhi satu saja maka pernikahannya tidak sah. Kedua, tiga syarat untuk kebolehan memprioritaskan melangsungkan akad, yang mana bisa berimplikasi pada berdosanya sang wali andaikata tidak terpenuhi salah satu dari tiga syarat tersebut kendatipun nikahnya tetap sah, sebagaimana Syekh Abdun Nabi menjelaskannya, demikian pula Imam Al-Qalyubi menandaskan;

ويشترط لصحة العقد حينئذ عدم عداوة ظاهرة من الولي لها بأن يطلع عليها، أهل محلها، وكون الزوج كفؤا وموسرا أي قادرا على حال الصداق ليس عدوا لها ولو باطنا حتى لو تبين شيء من ذلك بعد العقد تبين بطلانه

“Syarat keabsahan menikahkan dengan konsep ijbar adalah tiadanya permusuhan yang mencuat antara bapak dan anak perempuannya sekiranya tetangga dan sahabat perempuan itu mengetahuinya, (2) suaminya harus selevel dengan calon perempuannya, (3) kaya artinya mampu membayar mahar yang kontan, (4) tiadanya permusuhan antara perempuan dan calonnya. Andaikan dikemudian hari (setelah akad) ditemukan indikator tidak terpenuhinya syarat di atas maka nikahnya batal” (Hasyiah al-Qalyubi: 3/223).

Jika kita melihat realitas yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat ketika menikahkan putrinya yang masih perawan menggunakan konsep ijbar seringkali melupakan syarat-syarat tersebut. Misalnya, kasus yang pernah dialami oleh teman dan adik kelas saya itu. Sudah barang tentu, pernikahan yang dilangsungkan atas nama konsep ijbar tersebut tidak memenuhi syarat-syaratnya, yaitu tidak adanya permusuhan antara perempuan dengan ayahnya atau dengan calon suaminya. Sebab, dalam praktiknya antara anak perempuan dan ayahnya serta calon suaminya ada permusuhan. Syekh Abdun al-Nabi mengatakan bahwa yang dimaksud permusuhan antara ayah dan putrinya adalah permusuhan yang diketahui oleh warga. Sedangkan permusuhan yang dimaksudkan antara calon suami dan perempuan adalah permusuhan yang sulit diketahui oleh warga.

Permusuhan itu bisa kita ketahui dengan banyak indikator di antaranya pernyataan tegas dari sang anak dengan menentang rencana ayahnya yang ingin menikahkannya. Karena dengan adanya penentangan tersebut bisa dipastikan sudah ada permusuhan antara keduanya sebagaimana yang terjadi pada peristiwa adik kelas saya. Atau indikator lain semisal menangis setiap hari sebagai tanda ketidaksetujuan sebagaimana yang menimpa pada teman SD saya. Jika demikian situasinya, dengan sendirinya maka ada permusuhan pula antara si perempuan dengan calon suaminya. Oleh karena itu, jika pernikahannya tetap dilangsungkan maka akad tersebut tidak sah alias batal.

Akan tetapi, masyarakat rupanya tidak kehabisan akal untuk berdalih karena ada yang mengajukan banding bahwa banyak sekali perempuan yang awalnya tidak mau menikah dan dipaksa menikah pada akhirnya mau dan bahagia. Dalam hal ini, kita bisa katakan bahwa walaupun kondisinya demikian tetap saja akad nikahnya tidak sah. Kenapa sebab? Karena akad nikah itu telah dilangsungkan tanpa memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan suatu kaidah fikih yang mengatakan, “Sesuatu yang bernilai tinggi (nikah) maka diperketat dan diperbanyak pula persyaratannya”.

Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan atas konsep ijbar dan tidak mengindahkan kondisi perempuan (konflik dengan ayah atau calonnya, misalnya.) atau syarat lain seperti di atas maka pernikahannya batal, baik kondisi perempuannya tetap tidak mau dan ada konflik antara ayah dan calon suaminya ataupun perempuannya sudah berdamai seiring zaman sehingga menerima kenyataan dan memaafkan apa yang telah terjadi.

Sedangkan syarat-syarat yang boleh memprioritaskan akad nikah menggunakan konsep ijbar sebagaimana secara tangkas dijelaskan oleh Imam al-Qalyubi sebagai berikut;

ويشترط لجواز الإقدام على العقد كونه بمهر المثل من نقد البلد حالا كله، والمراد بنقد البلد ما جرت العادة به فيها، ولو عروضا

“Untuk memprioritaskan akad dengan konsep ijbar maka maharnya berupa mahar mitsil dari mata uang negara. Yang dimaksud dengan mata uang daerahnya adalah uang yang biasa digunakan oleh masyarakat tersebut kendatipun berupa komoditi”.

Sedangkan Syekh Abdun Nabi merumuskan syarat-syarat tersebut yaitu, pertama, maharnya tidak boleh di bawah standar mahar mitsil (mahar yang sama dengan mahar saudari, ibu atau bibi dll). Kedua, maharnya haruslah mata uang yang berlaku di negaranya. Ketiga, maharnya adalah kontan, (Mu’nis al-Jalis, 2/155-156).

Sebagai akhir tulisan ini saya ingin mengkritisi klaim sebagian kalangan feminis yang mengkritik bahkan menangkal konsep ijbar hanya dengan melihat fakta di lapangan tanpa memahami secara komprehensif tentang konsep ijbar itu sendiri berikut prosedurnya. Padahal, ijbar tidaklah seperti yang kita pahami selama ini dengan konsep yang melegalkan pemaksaan nikah secara wenang-wenang terhadap perempuan yang perawan. Hal itu kalau syarat-syarat ijbar dipenuhi semua, yaitu suaminya kaya, sekufu (ganteng, pintar, dan alim kalau perempuannya demikian), si perempuan tidak ada konflik baik dengan ayahnya maupun calonnya karena ingin dinikahkan, dan lain semacamnya. Perempuan normal mana yang ingin menolak lelaki dengan kriteria sebagaimana konsep ijbar?

One thought on “Menelisik Konsep dan Praktik Ijbar yang Disalahpahami Masyarakat dan Feminisme”

  1. Muh. Salman Umar March 8, 2023 at 5:39 pm

    Penafsiran adawah kurang pas. Yang benar bisa dilihat dalam bab syahadah. Yakni benci sekira kalau yang dibenci dapat nikmat ia akan susah, dan kalau dapat musibah akan berbahagia

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version