Moderasi Beragama: Tetangga yang Beda Agama Pun Punya Hak

Moderasi Beragama: Tetangga yang Beda Agama Pun Punya Hak

Oleh: Dr. Imam Nakhe’i
(Dosen Ma’had Aly Situbondo dan Komisioner Komnas Perempuan 2014-sekarang)

Saat ini mulai banyak berkembang model hubungan tetangga yang anti pada kelompok yang lain. Berkembangnya sikap eksklusivitas dalam berbagai relasi, termasuk relasi ketetanggaan cukup menggelisahkan sebab seringkali dijadikan sebagai alat untuk mengeluarkan dan menyudutkan orang atau kelompok lain. Sikap ekslusif itu adakalanya disebabkan perbedaan pandangan politik, komunitas pengajian, organisasi keagamaan, etnik dan terlebih lagi berbeda keyakinan.

Padahal, sikap ekslusif seperti itu bertentangan dengan fakta sejarah Madinah yang dibangun oleh Rasulallah dan para sahabat. Rasulallah tidak pernah menafikan realitas sejarah bahwa masyarakat Madinah memiliki latar suku yang banyak dari setiap lapisan masyarakat kala itu, demikian pula Rasulallah tidak pernah menegasikan eksistensi berbagai Agama.[1] Ibnu Katsir menuturkan dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah, bahwa dalam piagam itu, Nabi Muhammad mengakui eksistensi agama dan hartanya kaum Yahudi bahkan tidak boleh menganggu terhadap ketentraman mereka selama kaum yahudi itu tidak membelot atas konsensus yang dibuat.

Dengan penuh kesadaran, Justru Rasulallah mengajukan konsep sebagai perekat sosial dari berbagai elemen masyarakat yang memiliki latar belakang agama dan suku yang berbeda-beda. Konsep itu kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Di saat masyarakat Madinah berpotensi terpecah belah karena berbeda kepentingan, Rasulallah justru membangun persaudaraan al-Whataniyah bukan menyudutkan mereka yang berbeda keyakinannya. Di sinilah sikap kebijaksanaan Rasulallah yang mempersatukan umat dengan komitmen bersama-sama untuk setia terhadap konstitusi Madinah dan melindunginya dari gangguan yang mencoba merobohkan Negara Madinah.[2]

Berbicara tentang konsep ukhuwwah (Persaudaraan), baik ukhuwwah al-Islamiyah, ukhuwwah al-wathaniyah, ukhuwwah al-basyariyah, ukhuwwah ar-rukhiyah, dan ukhuwwah lainnya sesungguhnya merupakan basis untuk membangun perdamaian yang mana konsep itu juga memiliki pijakan dalil baik dalam Alquran dan Sunah.

Beragamnya model-model ukhuwwah ini seharusnya menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, karena semakin banyak wadah-wadah untuk menyatukan perbedaan dalam wadah kedamaian (ukhuwah). Jika kita tidak bisa bersaudara dalam komunitas yang lebih kecil, maka masih ada persaudaraan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, jika dengan beragamnya persauadaraan itu kita masih saja bertengkar, saling memaki, bahkan saling memusnahkan, maka kita patut meragukan diri sendiri, jangan-jangan kita bukan manusia sebagai mahluk Tuhan?.

Dalam kitab Insaniyatul Insan Qabla Huquqil Insan, Ahmad Raisuni sebagai penulis menyindir yang esensinya seperti “Banyak orang mengklaim dirinya memiliki hak-hak asasi manusia, namun tidak menyadari untuk menilai apakah dirinya memiliki sifat kemanusiaan itu”.[3]Adapun teks lengkapnya sebagai berikut.

شيء مهم أن يُحمى الإنسان في شرفه وسمعته بمقتضى القانون، لكن ما هـو أولى بالعناية والحماية هـو وجود هـذا الشرف وبقاؤه بقاءً حقيقيًا، وليس مجرد ادعاء الشرف واللجوء إلى القانون لحماية هـذا الادعاء. بل أكثر من هـذا: كيف نبقي فكرة الشرف والسمعة موجودة وذات اعتبار لدى الناس؟ وإلا فقد لا نجد من يعتبر أن له شرفًا وسمعة، أو أن هـناك شيئًا حقيقيًا ومصلحة حقيقية اسمها الشرف والسمعة، خاصة إذا لم يكن يترتب عليهما درهم ولا دينار، ولا سجن ولا تعذيب؟ [ ص: 48 ]

Penting bagi seseorang untuk menjaga kehormatan dan reputasinya sesuai dengan hukum, tetapi yang lebih penting dengan perawatan dan perlindungan adalah keberadaan kehormatan ini dan kelangsungan hidupnya yang nyata. Bukan hanya mengklaim kehormatan dan menggunakan hukum untuk melindungi klaimannya. Bahkan lebih dari ini: Bagaimana kita menjaga agar gagasan tentang kehormatan dan reputasi tetap ada dan dipertimbangkan oleh orang-orang? Kalau tidak, kita mungkin tidak menemukan seseorang yang menganggap dirinya memiliki kehormatan dan nama baik, atau bahwa ada sesuatu yang nyata dan menarik yang disebut kehormatan dan nama baik, apalagi jika tidak menghasilkan dirham atau dinar, atau penjara atau siksaan? [hal: 48]

Konsep ukhuwah tersebut misalnya terealisasi dalam kehidupan nyata ketika Nabi memerintahkan kepada umatnya untuk memberikan hak kepada tetangganya, baik yang kerabat ataupun tidak, dan seagama ataupun tidak.

Hadis Nabi ini sangat luar biasa karena mampu melihat aspek-aspek kesamaan walaupun kecil untuk merajut persaudaraan tanpa melirik perbedaan kendati besar. Meskipun hadis ini dinilai dha’if, namun banyak kitab-kitab hadis mengutipnya, termasuk Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin-nya pada juz dua ketika menjelaskan hak-hak tetangga.[4] Nabi bersabda:

الْجِيرَانُ ثَلَاثَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ ثَلَاثَةُ حُقُوقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ حَقَّانِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَأَمَّا الَّذِي لَهُ ثَلَاثَةُ حُقُوقٍ فَالْجَارُ الْمُسْلِمُ الْقَرِيبُ لَهُ حَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الْجِوَارِ وَحَقُّ الْقَرَابَةِ وَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقَّانِ فَالْجَارُ الْمُسْلِمُ لَهُ حَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الْجِوَارِ وَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَالْجَارُ الْكَافِرُ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ قَالُوا يَا رَسُولَ الله أنطعمهم لُحُومِ النُّسُكِ قَالَ لَا يُطْعَمُ الْمُشْرِكُونَ مِنْ نسك الْمُسلمين

“Tetangga (hubungan kedekatan) ada tiga macam; yaitu tetangga yang memiliki tiga hak atas mu, ada yang memiliki dua hak, dan ada yang memiliki hanya satu hak. Tetangga yang memiliki tiga hak adalah tetangga yang muslim dan kerabat. Ia punya tiga hak, hak sebagai sesama muslim, hak sebagai tetangga dan hak sebagai kerabat. Tetangga yang memiliki dua hak adalah tetangga yang muslim. Ia punya dua hak yaitu hak sesama muslim dan hak sebagai tetangga. Dan tetangga yang memiliki satu hak adalah tetangga yang non-muslim. Ia memiliki satu hak yaitu hak sebagai tetangga”.

Hadis ini menegaskan bahwa tetangga tetap memiliki hak meskipun berbeda keyakinan. Adapun hak sebagai tetangga yaitu sebagaimana disebutkan dalam penggalan hadis di atas.

أَتَدْرُونَ مَا حَقُّ الْجَارِ إِنِ اسْتَعَانَ بِكَ أَعَنْتَهُ وَإِنِ اسْتَقْرَضَكَ أَقْرَضْتَهُ وَإِنِ افْتَقَرَ عُدْتَ عَلَيْهِ وَإِنِ مَرِضَ عُدْتَهُ وَإِنْ مَاتَ اتَّبَعْتَ جَنَازَتَهُ وَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ هَنَّأْتَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ عَزَّيْتَهُ وَلَا تَسْتَطِلْ عَلَيْهِ بِالْبِنَاءِ فَتَحْجُبَ عَنْهُ الرِّيحَ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَإِذَا اشْتَرَيْتَ فَاكِهَةً فَأَهْدِ لَهُ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَأَدْخِلْهَا سِرًّا وَلَا يَخْرُجْ بهَا ولدك ليغيظ بهَا وَلَدَهُ وَلَا تُؤْذِهِ بِقُتَارِ قِدْرِكَ إِلَّا أَنْ تَغْرِفَ لَهُ مِنْهَا

“Tahukah engkau, apa haknya tetangga? Rasulullah menjelaskan “Apabila ia meminta tolong maka tolonglah. Bila ia ingin berhutang, maka berilah hutangan. Jika ia membutuhkanmu maka kunjungilah. Jika ia sakit maka jenguklah. Jika meninggal maka antarkan janazahnya. Jika ia mendapat kebahagiaan maka ucapkan selamat atasnya. Jika tertimpa musibah maka hiburlah. Dan kau jangan membangun rumah yang tinggi sehingga menghalangi udara masuk ke rumah tetanggamu, kecuali atas izinnya. Jika engkau membeli buah atau makanan maka berbagilah. Jika tidak mampu memberinya maka masukkan ke dalam saku atau kantongmu agar tidak terlihat oleh tetanggamu dan mengganggu anak-anaknya. Dan jangan sampai tetanggamu terganggu dengan bau atau suara periukmu (masakan mu) kecuali engkau memberikan sebagian masakanmu”

Ketika Nabi Muhammad telah memberitahu hak-hak yang herus dipenuhi kepada tetangganya, Nabi juga senantiasa mengingatkan semua sahabatnya untuk dilaksanakan. Sebagaimana akhir penggalan hadis tersebut.

تَدْرُونَ مَا حَقُّ الْجَارِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَبْلُغُ حَقَّ الْجَارِ إِلَّا من رَحمَه الله فَمَا زَالَ يُوصِيهِمْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنُّوا أَنَّهُ سَيُوَرِّثُه

“Sudah tahukah engkau haknya tetangga kalian? Demi dzat yang jiwa saya berada digenggamannya (demi Allah), “Hanya orang-orang yang mendapat rahmat dan kasih Allah yang mampu memenuhi hak tetangga itu”. Rasulullah terus menurus berpesan agar memenuhi hak tetangga itu, sampai sampai nyaris Rasulullah memberikan hak waris pada tetangga”.

Dari tauladan-taudalan Nabi di atas menunjukkan betapa agung ajaran Islam. Namun saat ini keagungan ajaran Islam itu dinodai oleh orang-orang yang semangat berislamnya lebih besar dari pemahamannya terhadap ajaran islam itu sendiri. Maka penting menyeimbangkan antara pemahaman dan semangat beragama agar tercipta moderasi beragama. (slhsfr). Jakarta 20-01-21


[1] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, J. 3 H. 273-275

[2] Ibid

[3] Ahmad al-Raisuni, Insaniyatul Insan Qabla Huquqil Insan. 45.

[4] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, juz 2.

Image by Freepik

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version