Riba pada Jastip, Awas Hati-hati!

Riba pada Jastip, Awas Hati-hati!

Oleh: Ust. Doni Ekasaputra
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)

Ada dua model jastip yang dilakukan kebanyakan orang.

Pertama, jastip dengan pembayaran uang di muka. Orang yang nitip sudah membayar lunas barang yang dipesannya. Jika penerima jastip tidak ambil untung dari harga jual barang, ia ambil untung dari ongkir. Ongkir ini semacam upah untuk dirinya karena hakikatnya ia disewa oleh pemesan barang.

Jelas, praktik semacam ini tidak ada masalah. Upah atau ongkirnya halal asalkan barang yang diperjualbelikan halal.

Baca juga: Benarkah COD Haram?

Kedua, jastip dengan cara pembayaran di belakang. Artinya, penerima jastip nalangin dulu pakai uangnya sendiri. Substansi talangan ini adalah utang dari penerima jastip kepada pemesan barang.

Jika jastip model kedua terjadi, maka berkumpul dua akad dalam sekali tranksaksi, yaitu ijarah (sewa jasa) dan utang. Bila hal ini terjadi, perlu diperhatikan hadis nabi berikut ini:

نَهَى عَنْ بَيْعٍ وَسَلَفٍ

“Nabi melarang (gabungan) jual beli dan utang (dalam satu akad)”

Siapapun tidak bisa mengelak dari hadis ini. Zahirnya memang sangat jelas melarang siapapun untuk mengumpulkan jual beli dan utang. Dalam praktik jastip, yang terjadi adalah gabungan antara sewa jasa (ijarah) dan utang. Sewa jasa (ijarah) sendiri adalah bentuk lain dari jual beli.

Itulah sebabnya ada sekelompok orang bersikukuh menolak jastip model kedua ini. Akan tetapi, ini tidak fair karena mereka berdalil hanya menggunakan zahir hadis saja. Apa yang zahir tidak otomatis dikehendaki oleh sebuah dalil, termasuk hadis di atas.

Memahami Hadis Nabi

Adalah Imam Mawardi salah seorang ulama yang enggan berhujjah menggunakan zahir hadis ini. Beliau ogah karena pada dasarnya, jual beli dan utang sama-sama boleh dilakukan secara terpisah. Sangat tidak logis bila keduanya digabung begitu saja kemudian menjadi tidak boleh. Tentu ada hal lain yang menyebabkannya tidak boleh.

Baca Juga: Ketika Utang Berubah Nilai

Dalam hal ini, Imam Mawardi mengatakan bahwa mengumpulkan keduanya dilarang bilamana utang menjadi syarat terjadinya jual beli atau sebaliknya. Ulama yang hidup di era Kekhalifahan Abbasiyah ini menulis:

وَلَيْسَ هَذَا الْخَبَرُ مَحْمُولًا عَلَى ظَاهِرِهِ لِأَنَّ الْبَيْعَ بِانْفِرَادِهِ جَائِزٌ، وَالْقَرْضَ بِانْفِرَادِهِ جَائِزٌ وَاجْتِمَاعَهُمَا مَعًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ جَائِزٌ وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِالنَّهْيِ بَيْعٌ شُرِطَ فِيهِ قَرْضٌ.

Hadis ini tidak bisa arahkan pada (makna) zahirnya karena jual beli dan qard boleh dilakukan secara terpisah. (Tentu) mengumpulkan keduanya secara bersamaan boleh bila tanpa syarat. Hadis (tersebut) bermaksud melarang jual beli yang dengan syarat utang“.

Maksud hadis di atas tidak bisa dipahami secara utuh tanpa menakdir atau menghadirkan kalimat lain. Secara redaksional, hadis nabi di atas membuang mudhaf. Bila ditampakkan, susunan lengkapnya adalah

‎نَهَى عَنْ بَيْعٍ مع شرط سَلَفٍ

“Nabi Melarang Jual beli beserta syarat utang”

Bila dikaitkan dengan praktik jastip, talangan (utang) bukanlah syarat. Buktinya, pemesan bebas menentukan apakah mau bayar cash di muka atau utang. Apapun pilihannya, penerima jastip akan legowo.

Jastip menjadi tidak boleh bilamana penerima jastip menyaratkan harus utang. Atau pemerima jasa jastip mengambil untung dari talangannya. Jelas ini riba karena bagian dari utang yang mendapatkan manfaat. [M slh sfr]

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version