Mana Dulu, Puasa Sunnah Syawal atau Qada’ Puasa? Atau Menggabung Keduanya?

Mana Dulu, Puasa Sunnah Syawal atau Qada’ Puasa? Atau Menggabung Keduanya?

Oleh: Doni EkaSaputra

(Dosen Mahad Aly Situbondo)

Tulisan ini sebetulnya adalah sebuah tulisan tandingan terhadap sebuah tulisan salah seorang ustad Wahabi. Sebut saja inisialnya HWB. Tulisan ustad tersebut tersusun dengan lay out yang sangat rapi. Laiknya pesan yang sudah dipersiapkan untuk viral, tata letaknya bagus pakek banget. Kemasannya dipercantik sehingga orang tertarik untuk membacanya dan tidak membosankan. Bahkan lengkap dengan link medsos dan nomor HP.

Inti dari tulisan itu adalah “Dilarang melakukan puasa Syawal 6 hari kalau masih punya hutang puasa Ramadan”. Pahala puasa setahun sebagaimana yang dijanjikan oleh Rasulullah tidak akan pernah tercapai bilamana kita masih memiliki tanggungan puasa qada’ Ramadan.

Ust. HWB dalam tulisannya mengatakan begini: “kalau mau puasa syawal 6 hari, silahkan selesaikan dulu qada’ puasanya baru kemudian melaksanakan puasa sunnah.” Untuk memperkuat argumen-argumennya, dikutipnya kitab-kitab Syekh Utsaimin. Lumrahnya orang wahabi, rujukannya pasti dikembalikan kepada karangan Syekh Utsaimin. Katanya kembali kepada Alqur’an dan Hadis, kok masih taklid? Argumentasi pendeknya kira-kira begini, “mengabaikan ibadah wajib demi mengerjakan ibadah sunnah, itu tentu kekeliruan level dewa”. Hadza min ziyadati.

Sepintas, tidak ada yang bermasalah dengan tulisan ustad tersebut. Namun entah mengapa temanku itu menyuruhku untuk membuat tulisan tandingan.

Secara fikih, tulisan itu baik-baik saja. Nyatanya memang ada ulama yang berpendapat demikian. Paling tidak ya Syekh Utsaimin. Fiqh sebagai produk final dari proses ijtihad maka apapun hasilnya tetap sah dan dapat bintang satu kalau salah dan dapat bintang dua kalau benar. Namun seakurat-akurat fatwa fiqh, “beliau” tidak boleh kehilangan konteks. Katanya mahasiswa baru, fiqh tidak boleh turun dalam ruang hampa. Nanti masuk angin.

Dalam tradisi fiqh, setiap pendapat wajib hukumnya melahirkan minimal dua pendapat yang berbeda. Bahkan satu problem bisa melahirkan sampai belasan aqwal yang berbeda-beda. Tapi ini sudah biasa terjadi, namanya juga dugaan (dzan) mujtahid. Lalu untuk apa perbedaan itu ada?

Setidaknya perbedaan tersebut membuat mata kita melek bahwa fiqh adalah samudra yang tak bertepi. Langit yang tak berujung. Dampaknya, fatwa fiqh sangat tidak cukup dijadikan landasan untuk mengafirkan atau memurtadkan orang. Minimal, fiqh tidak bisa dijadikan amunisi untuk amar makruf nahi mungkar. Perbedaan fiqh lahir sebagai wajah Islam yang belas kasih kepada manusia. Islam gak mau pemeluknya disuguhi satu pendapat, karena jelas akan melanggar fitrah manusia yang hidup dalam kultur dan sikon yang berlainan. Fatwa hukum yang tunggal berpotensi besar untuk menyulitkan dan memberatkan, padahal taqwa itu diperintahkan semampunya saja. Lah! Kalau kemudian gak boleh puasa Syawal hanya karena punya tanggungan puasa ramadan, terus kapan nyawalnya? Iya kalau punya hutang cuman tiga hari, kalau punya hutang sebulan penuh? Bisa gak dapat pahala puasa syawal sama sekali, walau hanya secuil.

Nah, disinilah pentingnya memberikan wacana tandingan prihal persoalan ini. Biar tidak melulu menampilkan wajah Islam yang kaku, rigid, dan keras. Bahkan nauzubillah kita telah membuat orang-orang menjauh dari Islam. Menampilkan hukum-hukum yang serem dan berat akan membuat orang lari terbirit-birit meninggalkan Islam. Kepada sahabat Mu’adz dan Abu Musa Rasulullah berpesan, “Berilah kemudahan dan jangan mempersulit, Berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari…” [HR Bukhari dan Muslim].

Ini adalah pesan Rasulullah kepada mereka berdua ketika hendak diutus ke Yaman untuk berdakwah. Lanjut! Pertanyaannya, apa benar puasa sunnah Syawal bisa batal karena mengabaikan kewajiban qada’ puasa Ramadan?

Jawaban jumhur ulama mengatakan tidak. Hutang puasa tidak dapat menghalangi seseorang untuk melakukan puasa sunnah 6 hari bulan Syawal. Setiap orang punya hak yang sama untuk mendapatkan keutamaannya. Walaupun yang bersangkutan memiliki hutang puasa Ramadan.

Argumentasi jumhur ulama mulai dibangun dari status kewajiban qada’ puasa, apakah kewajiban qada’ puasa Ramadan itu sifatnya “faur” (bersegera) ataukah longgar (tarakhi)? Mayoritas ulama mengatakan bahwa kewajiban qada’ puasa Ramadan sifatnya “tarakhi”. Artinya, waktu pelaksanaan qada’ bisa diundur sampai menjelang pelaksanaan ramadan yang akan datang. Catatannya, jangan diundur sampai mengakibatkan ruang waktu untuk melakukan qada puasa menjadi hilang. Kewajiban qada’ puasa ini agak beda dikit dengan dengan kewajiban qada’ salat. Qada’ salat wajib dilakukan sesegera mungkin. Tidak boleh ditunda-tunda atau molor-molor apabila penyebab meninggalkan salat bukan karena uzur syar’i. Namun apabila seseorang tidak salat karena ada uzur syar’i maka mengqada’-nya tidak harus bersegera. Kalau kewajiban qada’ puasa Ramadan mutlak berlaku secara “tarakhi”, baik tidak puasa karena ada uzur atau tidak ada uzur. Salah satu dari tujuh dalil yang dijadikan pijakan oleh jumhur ulama adalah firman gusti Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 148:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفر فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya:“…Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.

Ayat tersebut tidak akan pernah bisa berbicara apapun tanpa diajak untuk berbicara. Tidak ada kesimpulan hukum yang dapat dipetik darinya. Untuk itu antum butuh alat komunikasi. Alat komunikasi manusia dengan al-Qur’an salah satu dari salah banyak lainnya adalah kaidah-kaidah usul fiqh, bukan terjemah departemen agama. Al-Qur’an tidak akan pernah mampu menjadi pedoman menuju jalan yang lurus kalau hanya mencukupkan diri dengan al-Qur’an terjemah.

Kalimat “أَيَّامٍ أُخَرَ” pada ayat tersebut di atas berbentuk nakirah yang berada dalam kalimat “positif” (isbat). Kaidah usul fiqh mengatakan, “Isim nakiroh yang berada dalam susunan kalimat positif menunjukkan kemutlakan”. Sejauh ini, kemutlakannya tidak dapat dibatasi (taqyid). Darinya, dapat ditarik pemahaman bahwa tidak boleh membatasi qada’ puasa dengan beberapa waktu tertentu kecuali ada dalil. Oleh sebab itu, kewajiban qada’ bersifat “muassa’” melonggar, tidak perlu segera dikerjakan.

Qada’-nya juga tidak perlu dilakukan secara berurutan. Boleh dilakukan secara terpisah. Hal ini karena ayat di atas kedudukannya disamaratakan (ta’mim) dengan surah al-Baqarah ayat 196 yang berbicara tentang kewajiban berpuasa sebagai ganti dari dam haji. Alasan lainnya masih banyak, silahkan lihat sendiri di buku, Ikhtiyarat al-Fiqhiyah karangan Ubaidillah Almubarakfuri.

Kenapa pahala puasa 6 hari bulan Syawal begitu besar? Sekali lagi, Ini adalah wujud kemurahan dan kasih sayang tuhan kepada manusia. Diberikannya pahala yang teramat besar agar manusia sekalian termotivasi untuk segera melakukan qado’ puasa di bulan Syawal.

Oleh sebab itu, cara qado’-nya bisa langsung saja digandeng dengan niat puasa sunnah 6 hari bulan Syawal. Insyaallah dapat dua bintang. Hutang puasa jadi lunas dan dapat pahala puasa sunnah 6 hari bulan Syawal. Dalam kajian fikih, hal ini boleh-boleh saja dan sudah lumrah. Rujukan-rujukannya lumayan banyak. Walaupun ada juga yang mengatakan tidak sah.

Perbedaan ulama dalam kasus ini berkaitan dengan persoalan menggabungkan dua niat dalam satu ibadah (tasyrik al-niat) dalam ranah ibadah “al-maqshūdah li dzatiha” dan “al-maqshudah li gairiha”. Imam Nawawi yang diikuti oleh Imam Asnawi berpendapat bahwa puasa qada’ sembari niat puasa sunnah Syawal hukumnya batal. Alasannya, puasa sunah muakkad adalah ibadah “al-maqshūdah li dzatiha”. Namun versi lain, Imam Ibnu Hajar mengatakan puasa sunah muakkad tersebut berstatus sebagaimana salat tahiyyat yang merupakan ibadah “al-maqshudah li gairiha”. Tujuan disyariatkan puasa sunah muakkad tersebut adalah untuk menyibukkan diri dengan perbuatan taat. Oleh karena itu, terjadinya “tasyrik al-niyyah” dalam kasus ini diperbolehkan. Memang wajah fiqh itu begini. Sampai kapanpun “beliau” akan menampilkan keragaman yang berpelangi.

Untungnya buat antum, dan aku juga tinggal ikuti mana yang paling relevan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Dengan begitu, Islam nampak sangat ramah lingkungan.

Tabik.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version