Memadukan Dua Hadis Puasa Pertengahan Sya’ban yang Kontradiktif

Memadukan Dua Hadis Puasa Pertengahan Sya’ban yang Kontradiktif

Oleh: Yoeki Hendra
(Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah)

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. pernah bersabda:

إذا انتصف الشعبان فلا تصوموا

Bila pertengahan Syaban telah tiba maka kalian jangan berpuasa ”.

Hadis ini cukup populer karena diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah, bahkan  ‘Ala salah satu periwayat hadis ini sampai menegaskan bahwa ayahnya benar-benar meriwayatkan hadis itu pada dirinya dari sahabat Abu Hurairah. (lihat: Ma’alimu as-Sunan, vol. 2 hal. 100)

Sekilas dipahami bahwa hadis ini melarang puasa di separuh terakhir bulan Sya’ban. Larangan ini bahkan dapat diarahkan pada larangan haram melihat hakikat nahi yang digunakan atau paling tidak sebatas makruh. Jika demikian seseorang tidak boleh berpuasa sejak 15 sya’ban hingga awal bulan ramadhan. Lalu benarkah begitu? Bagaimana dengan hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah yang tak kalah populer:

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ عليه السلام يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

Nabi tidak pernah berpuasa di satu bulan yang lebih banyak ketimbang bulan sya’ban, sesungguhnya Nabi puasa sebulan penuh di bulan sya’ban” (lihat: Syarh Shahih al-Bukhari li ibni Batthal, vol. 4 hal. 115)

Jika dibaca sepintas, agaknya kedua hadis di atas saling menegasikan satu sama lain alias kontradiksi. Hadis pertama melarang puasa di separuh terakhir bulan Sya’ban dan hadis kedua justru terkesan memperbolehkan. Lalu bagaimanakah ulama menyelesaikan dua hadis yang sekilas kontradiksi ini?.

Terlepas dari pendapat mungkin tidaknya terjadi kontradiksi antara hadis-hadis Nabi, ulama dalam menanggapi dua hadis di atas terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang menggunakan metode al-jarhu wa at-ta’dil (mempereteli keabsahan hadis). Kelompok ini menganggap bahkan menghukumi lemahnya hadis pertama diatas (dha’if) dengan berbagai alasan.

Di antaranya karena hadis pertama itu hanya diriwayatkan oleh ‘Ala bin Abdirrahman dari Sahabat Abu Hurairah, sedangkan hadis-hadis sahih lain menegaskan yang sebaliknya. Dengan kata lain hadis ini masuk kategori hadis mungkar karena bertentangan dengan banyak hadis-hadis sahih. Nah, menurut mereka, hadis pertama di atas tidak perlu diamalkan.

Tapi cukup mengamalkan hadis kedua sebab sejatinya tidak ada pertentangan antara keduanya. Bukankah hadis sahih tidak sama dengan hadis dhaif. Dengan demikian boleh-boleh saja puasa di pertengahan terakhir bulang Sya’ban menurut pendapat ini.

Sedangkan kelompok kedua menggunakan metode komparatif. Menurut pendapat ini kedua hadis di atas dapat didialogkan satu dengan yang lain hingga tampak kedua hadis itu seakan tidak saling bertentangan.

Seperti Imam al-Baihaqi mengarahkan hadis yang melarang puasa di separuh terakhir Sya’ban kepada kondisi ketika puasa tersebut berdampak buruk pada kesehatan untuk melaksanakan puasa Ramadan. Sedangkan hadis yang memperbolehkan puasa, itu mengarah kepada kondisi sebaliknya.

Tawaran lain dari kelompok ini, mengatakan bahwa larangan puasa itu berlaku ketika di pertengahan awal Sya’ban seseorang tidak berpuasa sama sekali. Karena itu jika sebelumnya dia berpuasa meskipun itu sehari saja maka tidak masalah baginya puasa di pertengahan akhir bulan Sya’ban.

Bahkan dalam literatur fikih ada banyak pengecualian terhadap hadis yang melarang puasa di pertengahan akhir Sya’ban itu. Seperti ketika seseorang telah terbiasa puasa sunah Senin dan Kamis atau ketika dia ber-nazdar untuk berpuasa maka menurut pendapat ini seseorang boleh berpuasa. Sebagaimana yang telah disinggung dalam artikel yang berjudul: Puasa Sunah Ba’da Nishf Sya’ban Mengapa Diharamkan?

Dan terakhir adalah pendapat ketiga. Menurut pendapat ini kedua hadis di atas saling bertentangan satu sama lain. Dan tidak ada peluang untuk mengompromikannya. Sehingga jalan terakhir yang hanya bisa ditempuh adalah menggunakan teori nasakh yaitu mengamandemin nash lama dengan nash baru.

Bagi pendapat ini hadis larangan puasa di pertengahan terakhir Sya’ban itu dihapus dan diganti dengan kebolehan puasa yang ditunjukkan oleh banyak hadis yang memperbolehkannya.

Hemat penulis, cara berpikir kelompok kedua lebih unggul selain logis juga karena sesuai dengan kaidah bahwa menggunakan dua dalil secara bersamaan itu lebih baik daripada harus menggugurkan salah satunya. Wallahu a’lam.

Image by Freepik

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version