<strong>Puasa Sunah Ba’da Nishf Sya’ban Mengapa Diharamkan?</strong>

Puasa Sunah Ba’da Nishf Sya’ban Mengapa Diharamkan?

Oleh: Moh Soleh Shofier
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Hari sudah memasuki tanggal 20 Sya’ban. Itu artinya sudah memasuki nishf al-Sya’ban sekitar lima hari yang lalu. Dan tentu beberapa hari ke depan kita akan menyambut bulan yang penuh berkah, Puasa. Untuk itu Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menyambut bulan tersebut dengan penuh suka cita. Di antaranya adalah berhenti melakukan puasa sunah dalam rangka menyambut ramadan.

Dalam hadis Nabi disebutkan larangan puasa tersebut sebagaimana diriwayatkan dari Imam Abu Dawud.

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا

“Apabila bulan Sya’ban telah berlalu separuh, maka janganlah kalian berpuasa!” [HR. Abu Dawud]

Dengan redaksi yang berbeda Imam al-Turmidzi meriwayatkan hadis tersebut sebagai berikut;

إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُومُوا

“Apa bila sudah tersisa separuh apa bulan Sya’ban maka janganlah berpuasa!” (Sunan al-Tirmidzi).

Dari kedua hadis itu, ulama sesungguhnya masih berbeda dalam memahami larangannya (lafal nahi). Ada yang memahami bahwa atensi larangan puasa itu hanyalah dalam tataran makruh saja. Tetapi, menurut kalangan yang “kuat” larangan puasa itu mencapai tataran haram dalam artian seandainya sesorang melakukan puasa maka puasanya tidak sah. Hal ini selaras dengan kaidah kebahasaan tentang nahi bahwa setiap larangan (nahi) pada dasarnya menunjukkan haram.

Selain itu, interpretasi ulama mengenai puasa yang dilarang adalah puasa sunah yang mutlak. Artinya, tidak semua puasa yang dilakukan dalam pertengahan bulan Sya’ban diharamkan. Melainkan ada beberapa puasa yang tidak termasuk cakupan larangan tersebut.

Misalnya, Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi menyebutkan beberapa konteks keharaman puasa yang dilakukan dalam nishf Sya’ban tersebut. Antara lain (1) ketika puasa itu bukanlah kelanjutan dari puasa sebelumnya semisal berpuasa sejak tanggal 15 Sya’ban kemudian dilanjutkan pada tanggal 16 dan seterusnya sampai masuk bulan puasa maka tidak haram.

محل الحرمة ما لم يصل صوم ما بعد النصف بما قبله، فإن وصله به ولو بيوم النصف، بأن صام خامس عشره وتالييه واستمر إلى آخر الشهر، فلا حرمة

(2) yaitu saat seseorang tidak memiliki kebiasaan puasa sunah sebelumnya. Sehingga orang yang terbiasa puasa senin kamis atau hari tertentu maka tidak haram ketika melakukan puasa yang bertepatan pada bulan nishf Sya’ban.

ومحل الحرمة أيضا ما لم يوافق صومه عادة له في الصوم، فإن وافقها – كأن كان يعتاد صوم يوم معين كالاثنين والخميس – فلا حرمة.

(3) yaitu ketika puasanya bukanlah puasa nadar dan qada’ walaupun qada puasa sunah ataupun puasa kafarat. Sehingga tidak haram melakukan puasa di setengah akhir blan Sya’ban bila puasanya adalah nadar, qada’ dan kafarat.

ومحل الحرمة أيضا: ما لم يكن صومه عن نذر مستقر في ذمته، أو قضاء، ولو كان القضاء لنفل، أو كفارة، فإن كان كذلك، فلا حرمة

Yang menjadi kemusykilan sehingga terselip pertanyaan, mengapa puasa dilarang pada setengah akhir bulan Sya’ban. Padahal puasa amat dianjurkan bahkan hanya puasalah yang menurut pengertian hadis qudsi akan disuguhkan kepada Tuhan langsung (membalasnya). Puasa di pertengahan bulan Sya’ban tidak sama dengan puasa di hari syak. Tetapi mengapa dilarang?

Dalam hal ini, Ust. Fadlin Rido mengatakan bahwa karena Nabi melarangnya sebagaimana bunyi hadis.

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا»

Lalu, kenapa Nabi melarangnya?

Karena bisa mengganggu dan membikin payah seseorang dalam melaksanakan puasa wajib bulan berikutnya, yakni puasa Ramadan. Ini menurut penafsiran ulama. Dalam kitab Umdah al-Qari Syarh al-Bukhari dijelaskan bahwa hikmah larangan puasa tersebut menyiapkan tenaga dalam rangka menyambut bulan puasa sehingga ketika ramadan masuk kondisi tubuh menjadi fit dan semangat menjalani ibadah puasa ramadan. Selain itu, ada yang mengajukan bahwa hikmahnya adalah lantaran hukum (puasa) dikaitkan dengan terlihatnya hilal sehingga orang yang berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya (sebelum ru’yah al-hilal) maka orang tersebut dianggap mencela hukum. Oleh sebab itu puasa dilarang, (Umdah al-Qari Syarh al-Bukhari, 10/288).

Itu adalah reka-reka segelintir ulama untuk merasionalisasikan diktum hukum larangan puasa di pertengahan akhir bulan Sya’ban. Sementara itu, menurut saya sendiri larangan tersebut lantaran dilarang oleh Nabi dan tak perlu dipertanyakan yang menuntut jawaban. Cukup mempertanyakan semata dan mendiami dalam kebingungan lalu dikembalikan kepada Tuhan dan Rasulnya. Karena sedari awal tidak semua diktum hukum agama harus terlihat rasional dan logis bukan? Karena agama itu sendiri melampaui dari rasionalitas?

Image by Freepik

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version