Wasiat Kiai As’ad Prespektif Maqasid al-Syariah

Wasiat Kiai As’ad Prespektif Maqasid al-Syariah

Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo pada era ke-pengasuh-an Kiai As’ad Syamsul Arifin, masyhur sebagai basis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kondisi seperti itu terus berlangsung lama, bahkan sampai melekat pada diri pengasuhnya, sebagai ulama yang sakti dan keramat.

Namun sebenarnya, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo beserta pengasuhnya juga lekat dengan keilmiahan yang sifatnya maqasidy ( Maqasid al-Syariah/tujuan syariat). Hal tersebut, bisa dilihat dalam ulasan wasiat Kiai As’ad melalui prespektif Maqasid al-Syariah, yang salah satu dari wasiatnya adalah sebagai berikut;

Santri saya yang pulang atau berhenti, harus ikut mengurusi atau memikirkan paling tidak salah satu dari yang tiga, pendidikan Islam, Dakwah melalui NU, ekonomi masyarakat”

Maqasid al-Syari’ah

Menurut Imam al-Razi, dalam kitabnya Mafatihul al-Ghaib, menjelaskan bahwasanya Maqasid (tujuan) merupakan misi kenabian yang menjadi prinsip untuk menciptakan masyarakat yang makmur nan sentosa serta memperoleh rida-berkah-Nya.

Al-Fikrul al-Samy, karangannya Muhammad bin Husain bin araby mengatakan, Maqasid al-Syariah dibangun berdasarkan kerahmatan, hikmat dan kemaslahatan manusia. Oleh karenanya, apabila terdapat sesuatu yang dikatakan syariat, padahal bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat di atas, maka hal itu perlu ditinjau dan dikaji ulang.

Imam Syatibi dalam kitab Muwafaqatnya berpendapat, Maqasid al-Syariah adalah mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat; yang merujuk kepada tiga maqasid pokok, secara hierarkis yang paling urgen adalah dharuriyyat (primer) kemudian hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier).

Dharuriyyat adalah suatu hal yang niscaya untuk dilakukan oleh manusia. Kalau tidak terlaksana, maka kehidupan manusia tidak akan stabil, bahkan hancur dan kehidupan akan berada dalam ancaman kehancuran.

Dharuriyyat memiliki empat domain, pertama, ibadah seperti menjaga agama, beriman, mengucapkan syahadat, melakukan salat, haji, puasa dan menunaikan zakat.  Kedua, empiris, misalnya, menjaga jiwa, menjaga akal, mengonsumsi makanan-minuman, mengenakan pakaian, memiliki rumah. Ketiga, muamalat, contohnya menjaga nasab dan harta. Keempat, pidana dan perdata, semisal hukuman bagi pelanggar aturan Negara dan agama.

Sedangkan makna hajiyyat adalah bila sesuatu itu tak dilakukan, maka manusia akan berada dalam kesulitan. Dalam hal ini, ada empat domain pula. Pertama ibadah, semisal kebolehan tidak berpuasa bagi orang sakit, boleh salat duduk, bagi orang yang tak mampu berdiri dan sebagainya. Kedua, empiris, contohnya kebolehan berburu, mengesomsi segala yang halal dan lainnya. Ketiga, muamalat, seperti, akad qirad (investasi) akad salam (pesanan) dan sebagainya. Keempat, pidana dan perdata, seperti menanggung kerugian yang dirusak, menghukum para pembuat hoax.

Adapaun tahsiniyyat merupakan sesuatu hal yang dianggap layak berdasarkan adat. Ini juga ada empat domain. Pertama, ibadah, seperti menghilangkan najis, membersihkan badan, rumah dan baju.  Kedua, empiris, contohnya, adab makan, minum, tidur, dan jangan berlebihan dalam melakukan sesuatu.  Ketiga, muamalat, seperti ketidakbolehan menjual najis. Keempat, pidana dan perdata, semisal larangan membunuh wanita, anak kecil dan orang tua pada kondisi perang.

Melihat paparan di atas, menjadi jelas bahwasanya, wasiat Kiai As’ad berada dalam tataran teratas dari pembagian Maqasid al-Syariah, yaitu dharuriyyat. Karena terjun di dunia pendidikan Islam itu berarti menjaga agama serta menjaga akal. Kemudian terjun dalam perekonomian masyarakat, itu berarti menjaga harta (ekonomi). Dan, terjun di NU, itu berarti menjaga semua unsur tadi, menjaga agama, harta dan akal sebab NU sebagai ormas memiliki misi mengayomi pendidikan dan ekonomi masyarakat, khususnya menjaga akidah yang benar.

Wasiat Kiai As’ad tersebut selaras dengan yang ada dalam kitab Bahrul al-Maqasid, bahwasanya yang dimaksud dengan menjaga agama adalah mengetahui nilai-nilai keislaman, menjaga akidah dan memberiahu kepada Ummat yang lain, bahwa Agama Islam merupakan aliran kepercayaan yang berkemajuan. Sehingga dari sana akan melahirkan sifat yang saling menghargai, menebarkan kasih-sayang dan menjunjung tinggi keadilan, terlebih kepada sesame muslimnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga harta adalah mengurusi kemaslahatan ekonomi rakyat yang merupakan salah satu pilar terpenting dalam kehidupan manusia. Tidak bisa dibayangkan, bila harta tidak dikelola dengan baik, maka dapat dipastikan akan terjadi krisis ekonomi, yang pada akhirnya akan mengancam siklus kelangsungan hidup manusia.

Alakulllihal, menjaga dan melaksanakan wasiat Kiai As’ad hakikatnya telah menjaga dan menjalankan tujuan syariat itu sendiri. [sfr]

Ahmad Saiful Bahri
(Alumni M2 Ma’had Aly Situbondo)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version