Islam Nusantara, Prof. Noor Harisudin: Sudah Benar Menurut Nahwu

Islam Nusantara, Prof. Noor Harisudin: Sudah Benar Menurut Nahwu

Oleh: Ali Ahmad Syaifuddin
(Santri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

Penulis mengikuti mata kuliah Fiqh Nusantara yang diampu oleh Prof Noor Harisudin. Mata kuliah ini diajarkan di Marhalah Tsaniyah semester 4. Sabtu kemarin, tanggal 9 Desember 2023, adalah pertemuan perdana di mata kuliah tersebut.

Fiqh Nusantara sebenarnya adalah penyempitan dari Islam Nusantara yang terlampau luas cakupannya. Penyempitan itu bertujuan juga demi menghindari kritik yang tidak jelas ujungnya. Sementara Islam Nusantara adalah sebuah narasi tentang moderasi beragama yang lahir pada Muktamar NU ke-33 di Jombang tahun 2015. Kemunculannya melahirkan pro-kontra dari banyak pihak, bahkan dari kalangan ulama NU sendiri.

Beliau, Prof Haris, bercerita panasnya perdebatan wacana Islam Nusantara saat itu. Pihak yang menolak mengatakan bahwa Islam sudah agama yang universal. Tidak perlu penambahan embel-embel Nusantara di belakangnya, sebab penambahan itu dapat mereduksi makna Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Justru, terang Prof Haris, Islam Nusantara dapat menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin.

Sesungguhnya perdebatan panas itu terjadi akibat perbedaan memahami istilah Islam Nusantara. Ada miskonsepsi antara pihak pro dan kontra. Dan bila dilihat lebih cermat lagi, perbedaan itu muncul dari kesalahan dalam memahami penyandaran kata Islam ke Nusantara. Di dalam Nahwu, penyandaran kata ke kata yang lain atau disebut idhofah mengadung berbagai makna. Perbedaan pilihan makna-makna itulah yang memicu perdebatan.

Prof Haris sebenarnya sudah menjelaskan masalah tersebut dalam bukunya, Fiqh Nusantara. Penulis di sini hanya ingin menambahkan sedikit penjelasan mengenai itu. Tulisan ini sebetulnya adalah catatan kuliah dan sebuah refleksi setelah mengikuti perkuliahan Fiqh Nusantara. Dan bila dilihat lebih cermat lagi, sasaran sebenarnya adalah nilai tinggi dari tangan murah hati dosen kepada mahasiswanya.

****

Nahwu, khususnya bab idhafah, menjadi alat untuk memahami istilah Islam Nusantara. Idhafah adalah salah satu bab di dalam ilmu Nahwu yang haram diabaikan. Pasalnya, idhafah adalah susunan kalimat yang paling banyak ditemukan ketika membaca teks Arab. Pengertian mudahnya, idhafah adalah penyandaran kata (isim dalam bahasa Arab) kepada kata lain dengan kegunaan dan faidah tertentu. Dari definisi ini dapat diketahui sekurang-kurangnya susunan idhafah terdiri dari dua kata: kata pertama disebut mudhaf dan kedua disebut mudhaf ilaih.

Idhafah berguna meringankan kalam. Penyandaran kata kepada kata yang lain menuntut pembuangan tanwin dan nun pada mudhaf, sehingga susunan dua kata tersebut menjadi mudah diucapkan. Selain kegunaan itu, idhafah memiliki beberapa faidah. Ada makna yang terselip diantara dua kata yang berdampingan itu.

Faidah-faidah itu kemudian membagi idhafah menjadi beberapa macam: bayaniyah (saat pembaca teks Arab mengira-ngira makna min atau dari), dzarfiyah (saat pembaca mengira-ngira makna fi atau di dalam) dan lamiyah (saat pembaca mengira-ngira makna lam atau milik atau untuk). Makna-makna itu tidak digunakan secara acak dan asal, tapi harus mengikuti ketentuannya masing-masing.

Ibnu ‘Aqil menjelaskan bahwa opsi pertama dalam memilih makna-makna itu adalah memilih di antara makna min atau fi dengan ketentuan sebagai berikut: Mengira-ngira makna min apabila mudhaf sejenis dengan mudhaf ilaih atau dengan pengertian lain mudhaf adalah bagian dari mudhaf ilaih. Seperti contoh, هذا باب خشب (ini pintu kayu). Penyandaran ini mengandung makna min, karena pintu (pintu kayu tentunya) adalah bagian atau berasal dari kayu, sehingga seakan-akan maknanya menjadi, هذا باب من خشب (ini pintu dari kayu).

Idhafah mengandung fi apabila mudhaf ilaih berupa keterangan tempat atau waktu. Seperti contoh, يا صاحبي السجن (wahai dua penghuni penjara). Penyandaran ini mengandung makna fi, karena mudhaf disandarkan kepada keterangan tempat, sehingga seakan-akan maknanya menjadi, يا صاحبان في السجن (wahai dua penghuni di dalam penjara).

Bila tidak memenuhi ketentuan di atas, dapat dipastikan idhafah bermakna lamiyah, seperti contoh غلام زيد (budak Zaid). Penyandaran ini mengandung makna lam, sehingga seakan-akan maknanya adalah غلام لزيد (budak milik Zaid).

Berdasarkan penjelasan di atas, istilah Islam Nusantara termasuk dalam idhafah yang mengandung makna fi atau di. Kata Islam disandarkan kepada kata Nusantara yang notabenenya adalah keterangan tempat. Nusantara merujuk kepada seluruh wilayah kepulauan Indonesia yang membentang dari Sumatra sampai Papua. Sehingga, pengertian yang betul adalah Islam di Nusantara.

Makna inilah yang dimaksud oleh pembela wacana Islam Nusantara, termasuk Prof Haris. Beliau mengatakan, Islam Nusantara adalah Islam yang hidup dan berkembang di bumi Nusantara, bukan Islam yang hidup dan berkembang dari Indonesia atau juga untuk Indonesia. Kiai Afifuddin Muhajir memaknai Islam Nusantara sebagai paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas dan budaya setempat.

Ada pesan dibalik wacana Islam Nusantara. Hal ini berkaitan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Islam dibawa ke Indonesia oleh para pendakwa dengan cara yang damai. Tidak lantas Islam menggilas tradisi dan budaya yang ada. Akan tetapi, agama Islam mampu berdialektika dan berbaur dengan tetap memegang prinsipnya. Metode dakwah damai dan moderat inilah yang kemudian dibingkai dengan istilah Islam Nusantara. Wacana ini amatlah penting mengingat banyaknya kekerasan beratasnamakan Islam yang terjadi di dunia.

Pesan ini tidak akan didapat kalau istilah Islam Nusantara dimaknai dengan idhafah yang bermakna min atau dari. Bahkan sebenarnya tidak bisa pemaknaan dengan idhafah bayaniyah, karena tidak memenuhi ketentuan. Islam bukanlah bagian dari Nusantara. Kalaupun dipaksakan, makna yang diperoleh bakal sesat. Makna yang diperoleh dari Islam Nusantara dari pemaknaan melalui idhafah bayaniyah adalah Islam yang berasal dari Nusantara.

Pihak kontra menganggap Islam Nusantara sebagai upaya menusantarakan Islam. Artinya, praktik keagamaan nantinya akan bernuansa Nusantara, seperti membaca Alquran dengan langgam Jawa, shalat memakai batik, ibadah haji tidak perlu ke Mekkah cukup mengitari Monas misalnya dan lain sebagainya. Inilah yang dipahami oleh pihak kontra. Mereka memahami Islam Nusantara adalah agama baru dan itu kesesatan, karena Islam hanya satu, yakni yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Tentu saja pemahaman itu tidaklah benar. Islam Nusantara bukan agama baru yang menandingi Islam Arab. Agama Islam tetap satu atau tunggal, hanya saja ekspresi keberislamannya beragam, tidak tunggal. Keberagaman itu terjadi karena Islam selalu mengalami proses akulturasi dengan budaya lokal. Islam Nusantara adalah salah satu dari bentuk ekspresinya.

Penulis tidak akan membahas pemaknaan menggunakan idhafah lamiyah. Idhafah lamiyah cukup diperkenalkan, dalam pembahasan ia sudah tidak diajak!

Dengan demikian, Istilah Islam Nusantara tidak ada masalah dari segi Nahwu. Istilah tersebut dapat dibenarkan. Islam Nusantara Prof Haris sudah benar menurut Nahwu.

Perihal makna penulis rasa sudah selesai. Semua pihak bakal sepakat. Apakah lantas tidak ada lagi perdebatan dan pertentangan?

Masih ada, terutama dari kalangan luar NU. Kali ini sepertinya soal pemilihan kata. Kenapa memakai istilah Islam Nusantara? Mengapa tidak memakai kata Indonesia yang lebih populer di mata dunia? Agaknya ada permainan kata di sana.

Islam NUsantara.
Wallahualam bishawab.

Gambar: Muh Arif Maulana

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version